Senin, 21 Februari 2011
BERTEMU ALLAH LEWAT SHALAT
1.A. Fiqh Shalat
· Shalat menurut bahasa berarti do’a. Shalat dalam terminologi Islam ialah suatu bentuk yang terdiri dari perbuatan dan ucapan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
· Urgensi shalat dalam ajaran Islam :
a. Shalat sebagai tiang agama
b. Amal yang paling pertama dinilai oleh Allah di yaumil qiyamah
c. Amal yang paling pertama diwajibkan
d. Amal yang paling besar pahalanya
e. Amal yang menjadi ajaran para rasul sebelum Nabi Muhammad
f. Meninggalkannya merupakan dosa besar
g. Ciri terpenting daripada orang yang taqwa, orang yang bahagia, orang yang shalih
h. Wasiat terakhir Nabi Muhammad saw
i. Rukun Islam yang kedua
j. Ajaran yang paling pertama kepada anak-anak
(2:45; 14:31; 20:132; 22:34; 29:45; 31:4; 11:114; 59:19; 25:63; 19:59)
· Hikmah shalat :
a. Penyerahan diri kepada Allah
b. Latihan disiplin
c. Ketenangan bathin
d. Do’a kepada Allah
e. Kebersihan dan kesehatan
f. Konsentrasi
g. Bermasyarakat
h. Persamaan derajat manusia
i. Merendahkan diri
j. Kepatuhan kepada pemimpin dan lain-lain
· Pelaksanaan shalat :
a. Pra shalat
a. Adzan setiap datang waktu shalat di masjid, mushala, dll
b. Qamat setiap akan melakukan shalat fardhu
c. Bersuci dari hadats dengan jalan: Wudhu’ atau mandi besar. Wudhu’ yaitu mencuci tangan sampai pergelangan, berkumur sambil mengisap air ke hidung dan mengeluarkannya (hukumnya sunnat), mencuci muka, mencuci tangan sampai ke sikut, mengucap rambut kepala sambil mengusap daun dan lubang teling, dan membasuh kaki sampai dengan dua mata kaki (hukumnya wajib). Sedang mengusap telinga hukumnya sunat. Wudhu’ dilakukan apabila ada yang keluar dari dua lubang dubur dan qubul dan apabila hilang akal. (4:43; 5:6-7)
d. Mandi besar yaitu membasuh seluruh anggota badan dengan air. Caranya: Mencuci kemaluan dengan tangan kiri, berwudhu’ seperti wudhu’ biasa kecuali kaki, menumpahkan air kepada seluruh badan sampai merata. Kecuali bagi wanita, sebagai pengganti membasuh kepala boleh dengan hanya menumpahkan tiga kali tumpahan air ke kepala, walaupun sanggul tidak dibuka (walaupun tidak merata), Mandi besar dilakukan apabila selesai haidh, nifas, jima’ dan keluar air mani.
e. Tayamum sebagai pengganti wudhu’/mandi besar karena tidak ada (tidak dapat memakai) air
f. Bersuci dari najis yang ada pada anggota badan (yang di luar) pada pakaian yang dipakai shalat, dan pada tempat shalat, oleh air atau jenis lainnya, sampai hilang baunya, warnanya dan rasanya.
g. Menutup ‘aurat :
Bagi wanita seluruh anggota badan kecuali muka dan telapak tangan bagi laki-laki minimal antara lutut dan pusat. Selain itu juga diperintahkan agar berpakaian rapih dan sopan. (7:31)
b. Keringanan-keringanan dalam shalat (ruhshah)
a. Laksanakan sekuat mungkin. Seperti karena sakit atau pada kendaraan
b. Bertayammum sebagai pengganti wudhu atau mandi. Yaitu dengan jalan menepukkan dua telapak tangan kepada sesuatu benda kemudian mengusapkan dua telapak tangan tersebut kepada muka dan tangan sampai pergelangan. Tayamum dilakukan apabila tidak ada air atau sakit sehingga tidak dapat menggunakan air
c. Mengusap sepatu sebagai pengganti mencuci kaki dan mengucap perban karena sakit. Syaratnya sudah punya wudhu’ pada saar memasangnya, sepatu menutup sampai dua mata kaki dan sepatunya tidak dibuka sampai selesai shalat.
d. Jama’ yaitu menyatukan shalat zhuhur dengan ‘Ashar atau shalat Maghrib dengan ‘Isha.
e. Qashar yaitu menyingkat shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. (4:101)
c. Peraturan khusus :
a. Sujud sahwi. Dilakukan dua kali menjelang salam, setelah selesai membaca bacaan tasyahud. Sujud ini dilakukan apabila ragu-ragu jumlah raka’at shalat (pilih yang sedikit), terlalu lebih raka’at (teruskan sebagaimana raka’at biasa), kurang raka’at (setelah ditambah raka’at yang kurang), tidak melakukan tasyahud awwal karena lupa. Bacaannya : Subhanalladzi malla yanamu wali yashu. Artinya Maha Suci Allah Dzat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa.
b. Masbuq. Yaitu berjama’ah kepada orang yang sedang melaksanakan shalat (menyusul). Peraturannya: laksanakan apa saja yang dilakukan imam setelah takbiratul ihram. Kemudian tambah rakaat yang kurang setelah imam salam. Pada saat menambah rakaat yang kurang boleh membentuk jama’ah baru dengan ma’mum lain yang sama-sama menjadi masbuq, dengan jalan; salah seorang melangkah ke depan menjadi imam atau ke belakang menjadi ma’mum.
c. Sujud tilawah. Yaitu sujud satu kali pada saat mendengar atau membaca ayat-ayat tilawah. Yaitu : al-A’raf 206; ar-Rad 15; an-Nahl 50; Bani Israil 109; Maryam 58; al-Hajj 18; al-Hajj 77; al-Furqan 60; an-Naml 26; as-Sajdah 15; ash-Shad 24; Ha-Mim 38; an-Najm 62; al-Insyiqaq 21; al-‘Alaq 15.
Bacaannya: Sajada wajhi lilladzi khalaqahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu. (Telah sujud mukaku kepada dzat yang mencipt-akannya dan menciptakan pendengarannya dan penglihatan-nya). Untuk sujud tilawat tidak disyaratkan berwudhu’.
d. Sujud syukur. Yaitu sujud satu kali apabila menadapatkan sesuatu mendapatkan sesuatu kenikmatan. Bacaannya: bebas, boleh seperti do’a sujud biasa dll. Untuk sujud syukur pun tidak ada syarat berwudhu’.
e. Shalat Jum’at. Yaitu shalat pada hari Jum’at dengan ketentuan sebagai berikut: Dua raka’at dengan berjama’ah pada waktu dhuhur, memakai khutbah sebelum pelaksanaan shalat. Khusus untuk wanita: boleh melakukannya dan boleh pula tetap seperti pada hari lain (shalat Dhuhur)
1.B. Pahala Shalat dan Hal-hal yang Menyempurnakannya Keutamaan wudhu dan siwak :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak Menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak Membersihkan kamu dan Menyempurnakan Nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Mai’dah 5:6)
Rasulullah saw. bersabda: “Jika berwudhu’ seorang muslim atau mu’min, maka membasuh muka, keluarlah dari mukanya semua dosa yang dilihat dengan matanya bersama tetesan yang terakhir dari air, dan bila membasuh kedua tangannya, keluar dari tangannya tiap dosa yang disentuh dengan tangannya bersama air atau tetesan yang akhir dari air, dan bila membasuh kakinya, keluar semua dosa yang telah dijalani oleh kakinya bersama air atau tetesan yang akhir dari air, hingga ia keluar bersih dari semua dosa.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Andaikan saya tidak khawatir memberatkan pada ummatku, niscaya saya perintahkan wajib bersiwak (gosok gigi) pada tiap-tiap shalat.” (HR. Bukhari, Muslim)
Anas r.a berkata Rasulullah saw. bersabda: Saya telah banyak menganjurkan kepadamu untuk bersiwak. (HR. Bukhari)
Syuraih bin Hani’ bertanya kepada Aisyah: Apakah yang didahulukan oleh Nabi saw. jika masuk rumahnya? Jawab Aisyah: Gosok gigi (bersiwak) (HR. Muslim)
Aisyah r.a. berkata: Bersabda Nabi saw.: Siwak (gosok gigi) itu membersihkan mulut dan menjadikan keridhoan Tuhan. (HR. Annasa’i, Ibn Khuzaimah)
Abu Hurairah r.a. berkata: Bersabda Nabi saw. :Lima macam dari fitrah (kelakuan yang tetap dari sunnat kelakuan para Nabi), yaitu khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan memotong kumis. (HR. Bukhari, Muslim)
Keutamaan adzan :
Abdullah bin Abdurrahman bin Abi sho’sho’ah berkata: Abu Sa’id Alkhudry berkata padanya: Saya perhatikan kau suka di dusun di tengah-tengah kambingmu, maka jika kau di hutan dan di antara kambingmu, lalu beradzan untuk shalat maka keraskan suaramu. Sesungguhnya tiada sesuatu pun yang mendengar suara mu’adzzin, baik ia berupa jin atau manusia atau lain-lainnya melainkan pasti akan menjadi saksi baginya di hari qiamat. Demikianlah yang saya dengar dari Rasulullah saw. (HR. Bukhari)
Keutamaan Shalat :
Rasulullah saw. bersabda: Bagaimanakah pendapat kamu kalau sebuah sungai di muka pintu salah satu kamu, dan ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab sahabat: Tidak. Maka demikianlah shalat lima waktu, Allah menghapus dosa-dosa dengannya. (HR. Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Tiada seorang muslim yang menghadapi shalat fardhu, lalu menyempurnakan wuhdhu’, khusyu’ serta ruku’ sujudnya, melainkan dapat dipastikan shalat itu menjadi penebus dosa yang terjadi sebelumnya selama tidak melakukan dosa-dosa besar. Dan itu untuk selamanya (HR. Muslim)
Keutamaan Berjalan ke Masjid :
Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang pergi pada pagi atau sore hari ke masjid, maka Allah menyediakan untuknya hidangan di surga tiap ia pergi baik pagi atau sore (HR. Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang bersuci di rumahnya kemudian berjalan ke masjid untuk menunaikan shalat fardhu, maka semua langkahnya dihitung yang satu untuk menghapuskan dosa dan yang kedua untuk menaikkan derajat. (HR. Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya sebesar-besar manusia pahalanya dalam shalat ialah yang terjauh jarak perjalanannya, dan orang menantikan shalat untuk berjama’ah dengan imam lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendiri untuk segera pulang tidur. (HR. Bukhari, Muslim)
Keutamaan Menantikan Shalat Berjamaah :
Rasulullah saw. bersabda: Selalu seorang itu teranggap dalam shalat, selama tertahan oleh menantikan shalat, tiada yang menahannya untuk kembali kerumahnya hanya semata-mata karena menantikan shalat. (HR. Bukhari, Muslim)
Keutamaan Shalat Berjama’ah :
Rasulullah saw. bersabda: Shalat berjama’ah lebih dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat (HR. Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Shalat berjama’ah berlipat ganda dari shalat sendiri di rumah atau di pasar dengan dua puluh lima lipat. Yang demikian itu karena seorang jika menyempurnakan wudhu’ kemudian keluar ke masjid, tiada ia melangkahkan kaki selangkah melainkan terangkat satu derajat dan dihapus satu dosa dan bila ia shalat selalu dido’akan oleh para Malaikat selama ia di tempat shalat itu tidak berhadas, Malaikat berdo’a : Allahumma sholli ‘alaihi allahummarhamhu. (Ya Allah kasihanilah ia) Dan tetap ia dianggap dalam shalat selama ia menantikan shalat. (HR. Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Tiada terdapat tiga orang berkumpul baik di dusun atau hutan atau kota, kemudian tidak dilakukan shalat jama’ah melainkan mereka telah dijajah oleh syaithon. Maka kerjakan olehmu shalat berjama’ah. Sesungguhnya serigala itu hanya dapat menerkam kambing yang jauh terpencil dari kawan-kawannya. (Abu Daud)
Keutamaan Shaf Barisan Pertama dan Perintah Meratakan dan Menyempurnakan Barisan dan Rapat
Rasulullah saw. bersabda: Andaikan orang-orang sama mengetahui besar pahala mendatangi adzan dan saf pertama, kemudian umpama untuk mendapatkan itu harus mereka berundi, tentu akan berundi untuk mendaparkannya. (Bukhari, Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Sebaik-baik Saf barisan lelaki yang terdepan, dan yang terburuk yaitu yang terbelakang yang akhir, dan sebaik-baik barisan perempuan yang terakhir, dan yang terburuk ialah yang terdepan. (Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Ratakanlah barisan karena menyempurnakan barisan (saf) shalat itu termasuk dari kesempurnaan shalat. (Bukhari, Muslim)
Anas r.a. berkata: Ketika telah iqomat untuk shalat, maka Nabi menoleh kepada kami sambil berkata: Ratakanlah barisan kamu dan rapatkan, sesungguhnya saya dapat melihat kamu dari belakang punggungku. (Bukhari)
Rasulullah saw. bersabda: Sempurnakanlah saf barisan yang muka kemudian berikutnya, maka jika ada kurang maka harus pada barisan yang dibelakang. (Abu Dawud).
Keutamaan sunnat rawatib yang mengikuti shalat fardhu :
“Tiada orang muslim yang shalat sunnat karena Allah, pada tiap hari dua belas raka’at, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim)
Rasulullah bersabda: “Di antara tiap adzan dan iqomat ada shalat sunnat. Pada tiap antara adzan dan iqomah ada shalat sunnat. Pada tiap adzan dan iqomah ada shalat sunnat. Bagi siapa yang suka mengerjakannya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Aisyah r.a. berkata: Adalah Nabi saw. tidak pernah meninggalkan shalat sunnah empat raka’at sebelum zhuhur dan dua raka’at sebelum shubuh. (HR. Bukhari)
Rasulullah saw. bersabda: “Siapa yang rajin melakukan sebelum Zhuhur dan sesudah Zhuhur empat-empat raka’at Allah akan mengharamkannya dari api neraka.” (HR. Abu Dawud, Attirmidzi)
Ali bin Abi Tholib ra. berkata: Adalah Nabi saw. biasa shalat empat raka’at sebelum ashar, dipisah dua salam, memberi salam pada para Malaikat muqorrobin dan pengikut mereka dari kaum muslimin dan mu’minin. (HR. Attirmidzi)
Anas r.a. berkata: Saya telah melihat orang-orang terkemuka dari shahabat Nabi saw. berburu-buru menuju ke tiang-tiang masjid untuk shalat sunnat sebelum shalat maghrib. (Bukhari)
Ibnu Umar r.a. berkata: Saya shalat bersama Rasulullah saw. dua raka’at sebelum Zhuhur, dan dua raka’at sesudahnya, dan dua raka’at sesudah Jum’ah, dan dua raka’at sesudah Maghrib serta dua raka’at sesudah Isya’. (HR. Bukhari, Muslim)
1.C. Khusyu dalam Shalat
Rasulullah saw. pernah ditanya tentang ihsan, beliau menjawab: “Engkau beribadah kepada Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Shalat adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun-nafs (pensucian jiwa). Dan shalat akan berfungsi demikian jika ditegakkan dengan semua rukun, sunnah dan adab zhahir serta batin.
Karena amalan-amalan shalat yang bersifat lahiriyah masih tetap dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam, maka pembahasan disini akan dibatasi dengan menyebutkan adab-adab batin yang disebut dengan ilmul khusyu’.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (al-Mu’minun:1-2)
______Khusyu merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati
“… dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (Thaha:14).
Siapa yang lalai dalam semua shalatnya maka bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?
Para ulama’ sepakat bahwa seorang hamba tidak mendapatkan (nilai) shalatnya kecuali apa yang disadarinya.
Kehadiran hati adalah ruh shalat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Semakin bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian shalat.
Makna-makna batin yang dengannya tercapai “kehidupan” shalat :
1. Kehadiran hati.
Selagi pikiran tidak terpalingkan dari apa yang tengah ditekuninya sedangkan hatinya masih tetap mengingat apa yang tengah dihadapinya dan tidak ada kelalaian di dalamnya maka berarti telah tercapai kehadiran hati.
Faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah (perhatian utama), karena sesungguhnya hati mengikuti perhatian utama sehingga hati tidak akan ‘hadir’ kecuali berkaitan dengan hal-hal yang menjadi perhatian utama. Apabila hati tidak ‘hadir’ dalam shalat maka ia tidak akan pasif begitu saja tetapi pasti berkeliaran mengikuti urusan dunia yang menjadi perhatian utama.
2. Tafahhum (kefahaman)
Yaitu pengetahuan tentang makna lafadz-lafadz shalat. Dari sinilah kemudian shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar karena ia memahamkan banyak hal yang pada gilirannya dapat mencegah perbuatan maksiat.
Penyebab timbulnya tafahhum ialah senantiasa berfikir dan mengarahkan pikiran untuk mengetahui makna.
3. Ta’zhim (rasa hormat)
Ta’zhim lahir dari dua ma’rifat. Pertama, ma’rifat akan kemuliaan dan keagungan Allah. Kedua, ma’rifat akan kehinaan diri dan statusnya sebagai hamba yang tidak memiliki kuasa apa-apa.
4. Haibah (rasa takut yang bersumber dari rasa hormat)
Haibah lahir dari ma’rifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya.
5. Raja’ (harap)
Penyebab timbulnya raja ialah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasan ni’mat-Nya, keindahan ciptaan-Nya dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya.
6. Haya’ (rasa malu)
Haya’ akan muncul melalui perasaan serba kurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuannya dalam menunaikan hak-hak Allah.
1.D. Shalat-shalat Sunnat
1. Shalat Qiyam al-Lail
Salim bin Abdullah bin Umar ra. berkata: Ayah bercerita kepada saya bahwa Rasulullah saw. berkata: Sebaik-baik orang Abdullah, andaikan ia suka shalat malam. Berkata Salim: Maka sejak itu Abdullah tiada tidur malam kecuali sedikit sekali.” (Bukhari&Muslim)
Rasulullah saw. bersabda: Seutama-utama puasa sesudah puasa Ramadhan ialah puasa sunnat pada bulan Muharram, dan seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu’, ialah shalat sunnat di waktu malam. (Muslim)
“Kalian harus shalat lail, sebab itulah jalan para sholihin, itulah pendekatan diri pada Rabb kalian, penghapus kesusahan dan pemusnah dosa-dosa.” (HR Turmudzi)
Aisyah ra. berkata: Biasa Rasulullah saw. shalat malam sebelas raka’at, sujud satu kali sama dengan orang membaca lima puluh ayat dari Qur’an, dan itu belum mengangkat kepala dari sujudnya, kemudian shalat dua raka’at sebelum fajar (shalat subuh), kemudian berbaring pada pinggang kanannya, hingga datang mu’adzdzin memberitahu akan iqomat untuk shalat. Ya’ni untuk shalat Subuh. (HR. Bukhari)
2. Shalat Sunnat Dhuha
Aisyah ra. berkata: Adalah Rasulullah saw. jika tidak shalat malam karena sakit atau lain-lainnya, maka dibayarnya dengan shalat pada siang harinya dua belas raka’at. (Muslim)
Umar bin Alkhotthob r.a. berkata: Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang ketiduran hingga tidak membaca wiridnya atau suatu kebiasaan amal kebaikan, lalu dibacanya di antara Subuh dan Dhuhur, maka tertulis baginya sama dengan dibacanya pada waktu malam. (HR. Muslim)
3. Shalat Sunnat Tahiyatul Masjid
“Jika salah seorang diantara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sehingga melaksanakan shalat dua raka’at.” (HR. Muslim)
4. Shalat Sunnat Syukrul Wudhu
“Rasulullah berkata kepada Bilal, “Ceritakanlah kepadaku amal apa yang amat engkau harapkan dalam Islam, sebab aku mendengar suara kedua sandalmu di surga?” Bilal menjawab; “Tidak ada amal ibadah yang paling kuharapkan selain setiap aku berwudhu baik siang atau malam aku selalu shalat setelahnya sebanyak yang aku suka” . (HR. Bukhari)
5. Shalat Sunnat Menunggu Khutbah Jum’at
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dan dia gosokkan dari wangi-wangian isterinya jika ada padanya, lalu dipakainya yang bagus, kemudian itu dia pun keluar sehingga datang ke mesjid, lalu dia sembahyang (sunnat) sesenangnya dan tidak dia mengganggu barang seorangpun, kemudian dia duduk diam; apabila Imamnya telah keluar, sampai dia sembahyang; semuanya itu akan menjadi penebus dosanya diantara Jum’atnya itu dengan Jum’at yang lain”. (HR. Imam Ahmad)
__________________________________________________________
Referensi’
Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf Annawawy, Tarjamah Riadhus Shalihin
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Ruhiyah : Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa
Drs. Miftah Faridl : Pokok-Pokok Ajaran Islam
Kisah: Kelebihan Ayat Kursi
Dari Anas bin Malik r.a. berkata, "Rasulullah S.A.W bersabda : Apabila seseorang dari umatku membaca ayat Kursi 12 kali, kemudian dia berwuduk dan mengerjakan solat subuh, nescaya Allah akan menjaganya dari kejahatan syaitan dan darjatnya sama dengan orang yang membaca seluruh al-Qur'an sebanyak tiga kali, dan pada hari kiamat ia akan diberi mahkota dari cahaya yang menyinari semua penghuni dunia."
Berkata Anas bin Malik, "Ya Rasulullah, apakah hendak dibaca setiap hari?"
Sabda Rasulullah S.A.W, " Tidak, cukuplah membacanya pada setiap hari Jumaat."
Umat-umat dahulu hanya sedikit sahaja yang mempercayai rasul-rasul mereka dan itu pun apabila mereka melihat mukjizat secara langsung. Kita sebagai umat Islam tidak boleh ragu-ragu tentang apa yang diterangkan oleh Allah dan Rasul. Janganlah kita ragu-ragu tentang al-Qur'an, hadis dan sunnah Rasul kita. Janganlah kita menjadi seperti umat yang terdahulu yang mana mereka itu lebih suka banyak bertanya dan hendak melihat bukti-bukti terlebih dahulu sebelum mereka beriman.
Setiap satu yang dianjurkan oleh Rasulullah S.A.W kepada kita adalah untuk kebaikan kita sendiri. Rasulullah S.A.W menyuruh kita mengamalkan membaca surah Kursi. Kehebatan ayat ini telah ditearngkan dalam banyak hadis. Kehebatan ayat Kursi ini adalah untuk kita juga, yakni untuk menangkis gangguan syaitan dan kuncu-kuncunya di samping itu kita diberi pahala.
Begitu juga dengan surah al-Falaq, surah Yasin dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai keistimewaannya. Setiap isi al-Qur'an itu mempunyai kelebihan yang tersendiri. Oleh itu kita umat Islam, janganlah ada sedikit pun keraguan tentang ayat-ayat al-Qur'an, hadis Nabi dan sunnah Baginda S.A.W. Keraguan dan was-was itu datangnya dari syaitan.
Kisah: Canda Rasull
Rasulullah SAW bergaul dengan semua orang. Baginda menerima hamba, orang buta, dan anak-anak. Baginda bergurau dengan anak kecil, bermain-main dengan mereka, bersenda gurau dengan orang tua. Akan tetapi Baginda tidak berkata kecuali yang benar saja.
Suatu hari seorang perempuan datang kepada beliau lalu berkata,
"Ya Rasulullah! Naikkan saya ke atas unta", katanya.
"Aku akan naikkan engkau ke atas anak unta", kata Rasulullah SAW.
"Ia tidak mampu", kata perempuan itu.
"Tidak, aku akan naikkan engkau ke atas anak unta".
"Ia tidak mampu".
Para sahabat yang berada di situ berkata,
"bukankah unta itu juga anak unta?"
Datang seorang perempuan lain, dia memberitahu Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, suamiku jatuh sakit. Dia memanggilmu".
"Semoga suamimu yang dalam matanya putih", kata Rasulullah SAW.
Perempuan itu kembali ke rumahnya. Dan dia pun membuka mata suaminya. Suaminya bertanya dengan keheranan, "kenapa kamu ini?".
"Rasulullah memberitahu bahwa dalam matamu putih", kata istrinya menerangkan. "Bukankah semua mata ada warna putih?" kata suaminya.
Seorang perempuan lain berkata kepada Rasulullah SAW,
"Ya Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dimasukkan ke dalam syurga". "Wahai ummi fulan, syurga tidak dimasuki oleh orang tua".
Perempuan itu lalu menangis.
Rasulullah menjelaskan, "tidakkah kamu membaca firman Allah ini,
Serta kami telah menciptakan istri-istri mereka dengan ciptaan istimewa, serta kami jadikan mereka senantiasa perawan (yang tidak pernah disentuh), yang tetap mencintai jodohnya, serta yang sebaya umurnya".
Para sahabat Rasulullah SAW suka tertawa tapi iman di dalam hati mereka bagai gunung yang teguh. Na'im adalah seorang sahabat yang paling suka bergurau dan tertawa. Mendengar kata-kata dan melihat gelagatnya, Rasulullah turut tersenyum.
Rabu, 16 Februari 2011
Demokrasi,Kebebasan, dan Pemilu Menurut Islam
Untuk memberikan hukum Islam dalam masalah ini, kita pertama-tama harus mempunyai pemahaman yang benar dan komprehensif mengenai realita tersebut (Tahqiqul Manaat). Karena definisi demokrasi bukan berasal dari bahasa arab, maka belum pernah dikenal dalam Islam di Arab (tapi sejak dahulu konsep dan realita mengenal hal ini telah ada). Oleh karena itu kita harus melihat darimana sebenarnya istilah ini berasal dan apa artinya. Menurut kamus Oxford, definisi demokrasi adalah : “Bentuk pemerintahan dimana warga negaranya mempunyai hak bersuara untuk menentukan/memilih siapa seharusnya yang memegang kekuasaan dan bagaimana kekuasaan itu seharusnya digunakan.” Oleh karena itu warga negara adalah sumber pembuat undang-undang dan bebas memilih hukum apa yang seharusnya diterapkan.
Makna lain dari definisi Demokrasi (istilah Yunani kuno – Demokratia) adalah undang-undang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, dengan kata lain ini adalah system dimana rakyat membuat undang-undang sesuai dengan keinginan mereka, apakah kita menyukainya atau tidak. Demokrasi bukanlah atau tidak sama dengan bentuk perundingan (syuro) yang ada dalam Islam. Hal ini sebagaimana muslim sekuler suka mengklaim seperti itu (untuk membenarkan kekufuran mereka) tetapi pada dasarnya ini adalah mekanisme dan system yang memperbolehkan manusia meninggalkan perintah-perintah Allah dan melegalkan hukum buatannya sendiri. Ini adalah sesuatu yang dikatakan oleh orang kafir mengenai diri mereka!.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“ Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikankan mu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.An Nisa (4) :65).
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rosul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS.Al Ahzab (33) :36)
Oleh karena itu kaum muslimin tidak diperkenankan mempunyai pandangan lain dari hukum-hukum Allah dan mengomentari hukum-hukum Allah yang akan menjadikannya kufur akbar (keluar dari Islam) sebagaimana Allah SWT berfirman:
“Tidak adalah yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang kafir.”
(QS.Al Ankabut (29) :47).
Dengan alasan ini, memilih untuk hidup tanpa perintah-perintah Allah adalah kafir dan murtad dalam Islam. Kaum muslimin tidak mempunyai hak untuk membuat undang-undang kecuali Allah SWT sebagai satu-satunya Sang Pembuat Undang-Undang, karena Dia adalah Al Hakam (Pembuat Undang-Undang dan Penyuruh)
“Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan sesuatu keteranganpun mengenai nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS.Yusuf (12):40)
Ayat ini menjadikan persoalan ini semakin jelas seperti matahari yang bersinar di siang hari. Oleh karena itu siapa saja yang menyeru kepada demokrasi berarti menyeru kepada syirik, kekufuran, dan agama selain dari agama Islam, ini semua merupakan bentuk utama dari kemurtadan. Demokrasi bukan berasal dari Islam, siapa saja yang mengatakan (demokrasi berasal dari Islam) berarti Zindiq (bid’ah), lebih buruk daripada kekufuran karena zindiq adalah seseorang yang mempropagandakan kekufuran dengan menggunakan kedok Islam.
Alasan terbesar menjadi MP (Perdana Menteri) adalah bentuk terbesar dari kemurtadan karena mereka adalah orang yang secara aktif berpartisipasi dalam kekufuran dan kesyirikan dan mereka memberikan dukungan sepenuhnya kepadanya. Beberapa orang sekularis yang mengklaim dirinya sebagai muslim mengatakan: ”Bagaimana kita akan membuat perubahan dan menerapkan Islam ? Pertama, mereka adalah pembohong dengan mengklaim bahwa mereka ingin menerapkan Islam, dan mereka telah menyimpang jauh dari jalannya salafus sholeh (golongan yang selamat) dengan mengikuti hawa nafsu dan metodologi yang bukan berasal dari Islam. Tentu saja, sebagai seorang muslim kita dilarang untuk membenarkan cara ini, karena kita tidak dapat melakukan kekufuran dan kesyirikan dalam rangka taat kepada Allah SWT !.
AllahSWT berfirman:
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika Syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangnan ini), maka janganlah kamu duduk bersama-sama orang-orang dzolim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (QS. Al An’am (6) :68).
Oleh karena itu, bagaimana bisa mereka disebut dengan muslim, yaitu orang-orang yang duduk di parlemen bersama dengan orang-orang kafir yang menghina hukum-hukum Allah SWT dan perintah-perintah Allah dengan membuat hukum selain dari hukum Allah SWT? Sederhana saja jawabannya sebab mereka juga tidak beriman karena mereka seperti mereka (orang kafir) juga, hanya saja nama-nama mereka Islam. Mereka tidak diizinkan untuk duduk bersama mereka yang mendukung demokrasi yaitu mereka yang melakukan dan melegitimasi demokrasi, dan ini secara jelas dinyatakan pada ayat di atas.
Istilah kebebasan, didefinisikan sebagai: Hak untuk berbuat, berbicara dan berpikir secara bebas. Konsep kebebasan ini secara menyeluruh bertentangan dengan alasan utama untuk menjadi seorang muslim yaitu sebuah ketundukan. Istilah muslim meniadakan kebebasan dan hawa nafsu, dan mengindikasikan bahwa kita adalah hamba dan tidak ada pilihan lain terhadap masalah-masalah yang Allah SWT dan Rosul-Nya telah memutuskannya.
Freedom (kebebasan) adalah bentuk thoghut yaitu Tuhan yang salah dan muslim wajib mengingkari segala sesuatu yang disembah, ditaati dan diikuti selain Allah, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rosul pada tiap-tiap ummat (untuk menyerukan),”Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thoghut.” (QS.An Nahl (16):36)
Kebebasan adalah bebas dari perintah-perintah Allah dan mengikuti hawa nafsu, sedangkan bagi kaum muslimin tidak mempercayai kebebasan, apakah kebebasan berekspresi, berbicara atau bentuk kebebasan lain. Masyarakat Quraish mempunyai system yang serupa dengan demokrasi, dimana berbagai macam suku berkumpul bersama dan membuat undang-undang. Apakah Nabi Muhammad SAW pernah memberikan suaranya kepada mereka atau berkompromi dengan mereka? Apakah pernah Nabi SAW bergabung bersama mereka dalam parlemen atau kemiliteran mereka? Jawabannya secara jelas adalah “tidak” bagi siapa saja yang paham akan petunjuk. Siapa saja yang tidak dapat melihat (petunjuk) ini maka dia adalah tuli, bisu dan buta.
Definisi pemilihan (pemilu), ini hanyalah istilah kaum sekularis untuk mengambil keuntungan. Secara bahasa ini berarti memilih pemimpin atau penguasa, yang dalam Islam sesungguhnya merupakan kewajiban, sepanjang hukum yang diterapkan adalah hukum Islam (berasal dari Allah SWT). Bagaimanapun jika kita berbicara mengenai pemilihan atau pemilu di masa sekarang, hal ini tidak diartikan memilih atau menerapkan hukum Islam! Proses pemilihan adalah memilih seseorang yang akan membuat hukum sesuai keinginan mayoritas, oleh karena itu istilah pemilihan atau pemilu lebih disukai penggunaannya oleh sistem demokrasi dan kebebasan yang kufur. Untuk itu, akan lebih baik bagi kita untuk menggunakan istilah lain dari pemilihan atau pemilu, bahkan ketika kita membicarakan mengenai pemilihan seorang kholifah (kepala negara dalam sistem Islam), untuk membedakan diri kita dengan orang-orang kafir (dengan tidak menggunakan istilah-istilah mereka) dan menghindari keambiguan (makna yang membingungkan) atau kesalahan konsepsi seputar pemilihan atau pemilu.
Wahai saudara-saudaraku (kaum muslimin), ketahuilah bahwa demokrasi dan kebebasan adalah bentuk thoghut dan karenanya itu menjadi prasyarat bagi seorang muslim untuk menolak itu semua dan menyatakan permusuhan kepada mereka. Jangan patuh dan tunduk pada bisikan syaithan yang dihembuskan oleh sekularis yang akan mengajak anda untuk menolak Iman, dan menolak menyembah hanya kepadaTuhanmu dengan hanya taat kepada-Nya.
“Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
(QS.Yusuf (12) : 40).
Dasar Hubungan Umat Islam dengan Orang-Orang Kafir
Dasar Hubungan Umat Islam dengan Orang-Orang Kafir
Dasar Hubungan Adalah Perang
(1). Berdasar dalil-dalil syar’i dan penjelasan para ulama di atas, para ulama Islam menyimpulkan bahwa dasar hubungan antara umat Islam dengan umat non muslim adalah hubungan perang, bukan hubungan damai. Artinya, umat Islam boleh —bahkan wajib kifayah— b...erjihad melawan orang-orang kafir, sekalipun mereka tidak memerangi kaum muslimin.
Dr. Abdul Karim Zaidan berkata,” Asal dari hubungan antara negara-negara Islam dengan selain negara Islam adalah hubungan perang, bukan damai. Negara Islam berhak untuk menundukkan selain negara Islam ke dalam kekuasaan politik negara Islam dan qanun Islam, meskipun untuk itu harus perang jika memang selain negara Islam menolak untuk tunduk…
Sesungguhnya perdamaian antara negara Islam dan negara kafir (daaru harb) tidak terjadi kecuali dengan mu’ahadah (gencatan senjata/perjanjian damai selama masa tertentu), keislaman daaru harb atau menyerahnya daaru harb…karena itu seluruh fuqaha’ menamakan selain negara-negara Islam dengan istilah daaru harbi, dan mereka menganggap asal hubungan antara daaru harb dengan daaru Islam adalah hubungan perang.
Adapun perdamaian, maka tidak terjadi kecuali dengan (1) aman (jaminan keamanan) atau (2) iman, yaitu masuk Islam. Di antara pendapat seluruh fuqaha’ yang mereka bangun di atas asas ini adalah pendapat mereka bahwa ahlu kitab dan orang-orang Majusi diperangi sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah.”
Tidak Sembarang Berdamai
(2). Selain berdasar ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, para ulama juga menyimpulkan hal ini dari berbagai dalil yang menunjukkan tidak boleh berdamai dengan orang kafir kecuali karena kebutuhan dan maslahat menuntut untuk berdamai. Allah Ta’ala berfirman :
فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ
“ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yanng lebih tinggi kedudukannya. Dan Allah bersama kalian.” (QS. Muhammad: 35).
Ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan dasar hubungan dengan orang kafir. Perdamaian diperbolehkan dengan syarat terbatas dalam jangka waktu tertentu dan merealisasikan maslahat bagi kaum muslimin.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :
” (فَلاَتَهِنُوا) maksudnya janganlah kalian lemah melawan musuh (وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ) maksudnya meminta gencatan senjata, perjanjian damai dan pemberhentian perang antar kalian dengan orang-orang kafir, di saat kalian kuat, banyak personal dan perbekalan. Oleh karenanya Allah berfirman (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ), maksudnya di saat kalian berada di atas (menang atas) musuh kalian.
Adapun bila kaum kafir lebih kuat dan lebih banyak dari keseluruhan kaum muslimin, dan imam berpendapat dalam perjanjian damai dan gencatan senjata ada maslahat, maka imam boleh mengadakan perjanjian damai. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ketika kau kafir Quraisy menghalangi beliau dari Makkah. Mereka mengajak beliau berdamai dan menghentikan peperangan selama sepuluh tahun, maka beliau menerima ajakan mereka. Firman Allah (وَ اللهُ مَعَكُمْ) mengandung kabar gembira yang besar akan teraihnya kemenangan atas musuh.”
Imam An-Nawawi berkata :
” Tidak boleh mengadakan perjanjian damai dengan sebuah wilayah atau daerah, kecuali oleh Imam atau orang yang diserahi wewenang oleh imam. Jika hak mengadakan perdamaian ini diserahkan kepada setiap orang, tidak akan aman dari kemungkinan seseorang mengadakan perjanjian damai dengan sebuah wilayah, padahal sebenarnya maslahat terletak dalam perang melawan mereka. Akibatnya akan terjadi bahaya yang besar. Oleh karenanya, wewenang ini hanya di tangan Imam atau wakilnya.
Jika imam dalam posisi dominan (kuat), perjanjian damai harus dikaji. Jika dalam perjanjian damai tidak ada maslahat, Imam tidak boleh mengadakan perjanjian damai. Berdasar firman Allah (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ).”
Imam Al-Qusyairi berkata ;
إِذَا كَانَتِ اْلقُوَّةُ لِلْمُسْلِمِينَ فَيَنْبَغِي أَلاَّ تَبْلُغَ اْلهُدْنَةُ سَنَةً. وَ إِذَا كَانَتِ الْقُوَّةُ لِلْكُفَّارِ جَازَ مُهَادَنَتُهُمْ عَشْرَ سِنِينَ وَلاَ تَجُوزُ الزِّيَادَةُ.
“ Jika kaum muslimin mempunyai kekuatan, maka tidak sewajarnya mengadakan perjanjian damai (gencatan senjata) melebihi satu tahun. Adapun jika kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka boleh mengadakan perjanjian damai selama sepuluh tahun, dan tidak boleh lebih dari itu.”
Imam Syafi’i berkata:
لاَ تَجُوزُ مُهَادَنَةُ الْمُشْرِكِينَ أَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ عَلَى مَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَإِنْ هُوْدِنَ اْلمُشْرِكُونَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُنْتَقَضَةٌ ِلأَنَّ اْلأَصْلَ فَرْضُ قِتَالِ اْلمُشْرِكِينَ حَتىَّ يُؤْمِنُوا أَوْ يُعْطُوا اْلجِزْيَةَ.
” Perjanjian damai dengan orang-orang musyrik itu tidak boleh melebihi sepuluh tahun sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah.”
Imam Muwafaqudin bin Qudamah Al-Hambali berkata :
وَلاَ يَجُوزُ ذَلِكَ إِلاَّ عَلَى وَجْهِ النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ وَتَحْصِيلِ اْلمَصْلَحَةِ لَهُمْ لِقَولِ اللهِ تَعَالَى ((فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ )) َوِلأَنَّ هُدْنَتَهُمْ مِنْ غَيرِ حَاجَةٍ , تَرْكٌ لِلْجِهَادِ الْوَاجِبِ لِغَيْرِ فَائِدَةٍ “.
” Tidak boleh mengadakan perjanjian damai kecuali dengan mengkaji kondisi kaum muslimin dan merealisasikan maslahat untuk mereka. Berdasar firman Allah (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ). Karena berdamai dengan orang-orang kafir tanpa tuntutan kebutuhan berarti meningggalkan kewajiban jihad tanpa mendapat faedah apapun.”
Tafsir Ayat-Ayat Perdamaian
(3). Sebagian pihak berpendapat dasar hubungan umat Islam dengan umat lain adalah hubungan damai, berdasar beberapa ayat yang berbicara tentang perdamaian. Namun dengan mengkaji pendapat para ulama terhadap beberapa ayat tersebut, nyatalah bahwa pendapat ini lemah.
* Di antara ayat yang memerintahkan berdamai, adalah firman Allah :
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“ Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Alloh. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Para ulama salaf mempunyai tiga pendapat tentang ayat-ayat yang membolehkan untuk berdamai dengan orang-orang kafir :
a- Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh ayat yang membolehkan berdamai dengan orang-orang kafir telah dinaskh oleh surat At Taubah. Imam Qatadah mengatakan tentang ayat 61 surat Al Anfal,” Ayat itu berlaku sebelum turunnya surat Al Bara-ah. Adalah Nabi berdamai dengan manusia sampai tenggang waktu yang ditentukan, sampai mereka masuk Islam atau beliau memerangi mereka. Kemudian hal ini dinaskh dengan ayat dalam surat Al Bara-ah “ Bunuhlah orang-orang musyrik dimanapun kalian temukan mereka.” (At Taubah :5).”
Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa Imam Qatadah dan Ikrimah juga mengatakan,” Ayat itu dinaskh oleh ayat (maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kaliam dapatkan mereka QS. 9:5) dan (maka perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan QS. 9:36). Pendapat dinaskh-nya ayat-ayat yang membolehkan berdamai dengan orang-orang kafir juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Zaid bin Aslam, Atha’ dan Hasan Al Bashri. Begitu juga As Sudi . Hanya saja Ibnu Abbas dan As-Sudi menyatakan bahwa ayat yang menaskh adalah ayat 35 surat Muhammad.
b- Yang dimaksud kebolehan berdamai dengan orang-orang ahlu kitab dan Majusi jika mereka hendak berdamai adalah ketika mereka komitmen dengan kewajiban membayar jizyah. Jadi bukan sekedar berdamai, tanpa ketundukan kepada hukum Islam dan kewajiban membayar jizyah. Imam Al Qurthubi setelah menyebutkan pendapat pertama di atas mengatakan,” Ada yang berpendapat tidak dinaskh, melainkan maksudnya adalah menerima jizyah dari orang-orang ahlu jizyah. Para shahabat Rasulullah pada masa Umar bin Khathab dan para pemimpin sesudahnya telah mengadakan perdamaian dengan banyak negeri-negeri Ajam dengan mengambil apa yang mereka ambil dari mereka (jizyah) dengan balasan mereka membiarkan keadaan mereka (apa yang menjadi keyakinan mereka), padahal mereka mampu mencabut orang-orang Ajam tersebut sampai ke akar-akarnya.”
c- Pendapat yang menyatakan bahwa kebolehan berdamai dengan orang-orang kafir dalam ayat adalah ketika kondisi darurat yang memaksa untuk berdamai demi merealisasikan maslahat bagi umat Islam. Ini adalah pendapat imam Ibnu Al Arabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Imam Ibnu Abidin mengatakan,” Firman Allah (Jika mereka cenderung untuk berdamai) maksudnya adalah berkeinginan. Ayat ini berdasar ijma’ adalah muqayadah (terikat) dengan pertimbangan adanya kemaslahatan, berdasar firman Allah Ta’ala (QS. Muhammad :35, Maka janganlah kamu lemah dan mengajak berdamai padahal kalian lebih mulia).”
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
قَوْلُهُ (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ) جَنَحُوا طَلَبُوا السِّلْمَ, فَاجْنَحْ لَهَا أي أَنَّ هَذِهِ اْلآيَةَ دَالَّةٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ اْلمُصَالَحَةِ مَعَ اْلمُشْرِكِينَ، وَتَفْسِيرُ جَنَحُوا بِطَلَبُوا هُوَ لِلْمُصَنِّفِ ، وَقَالَ غَيْرُهُ مَعْنَى جَنَحُوا مَالُوا ، وَقَالَ أَبُو عُبَيدَةَ : السَّلْمُ وَالسِّلْمُ وَاحِدٌ وَهُوَ الصُّلْحُ . وَقاَلَ أَبُو عُمَرَ : وَالسَّلْمُ باِلْفَتْحِ الصُّلْحُ ، وَالسِّلْمُ بِالْكَسْرِ اْلإِسْلاَمُ . وَمَعْنَى الشَّرْطِ فِي ْالآيَةِ أَنَّ اْلأَمْرَ بِالصُّلْحِ مُقَيَّدٌ بِمَا إِذَا كَانَ اْلأَحَظَّ لِْلإِسْلاَمِ اْلمُصَالَحَةُ، أَمَّا إِذَا كَانْ ْالإِسْلاَمُ ظَاهِراً عَلَى اْلكُفْرِ وَلْمْ تَظْهَرِ اْلمَصْلَحَةُ فِي اْلمُصَالَحَةِ فَلاَ . أهـ
” Firman Allah (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ) makna جَنَحُوا adalah طَلَبُوا السِّلْمَ meminta perdamaian. (فَاجْنَحْ لَهَا). Ayat ini menunjukkan disyariatkannya perjanjian damai dengan orang-orang musyrik. Penafsiran (جَنَحُوا) dengan makna (طَلَبُوا) adalah penafsiran pengarang (imam Bukhari). Ulama lain menafsirkannya dengan makna (مَالُوا) cenderung (condong). Abu Ubaidah berkata,” As-Salmu dan As-silmu itu sama, maknanya perdamaian. Abu Umar berkata,” As-salmu berarti perdamaian, sedang as-silmu berarti Islam.”
Makna persyaratan dalam ayat ini adalah, perdamaian diikat oleh syarat bila yang lebih baik bagi umat Islam adalah perdamaian. Adapun bila Islam lebih dominan atas kekafiran dan maslahat dalam perjanjian damai tidak dominan, maka tidak boleh mengadakan perjanjian damai.”
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa ayat 61 surat Al-Anfal ini telah mansukh (pendapat pertama), atau boleh berdamai dengan syarat orang kafir membayar jizyah (pendapat kedua), atau boleh berdamai dengan syarat membawa maslahat yang dominan bagi umat Islam, dan itu terjadi disaat posisi umat Islam lebih lemah dari musuh (pendapat ketiga). Dus, ayat ini tidak menunjukkan wajibnya mengadakan perjanjian damai dengan musuh. Juga, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah hubungan damai.
* Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh tentang orang-orang munafiq :
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا . إِلاَّ الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ أَوْ جَآءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَن يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً . سَتَجِدُونَ ءَاخَرِينَ يُرِيدُونَ أَن يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّ مَارُدُّوا إِلَى الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلاَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama dengan mereka. Maka janganlah kalian jadikan diantara mereka penolong-penolong kalian. Jika mereka berpaling, maka tawanlah dan bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka, dan janganlah kalian menjadikan seorangpun diantara mereka sebagai pelindung dan juga penolong.
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kalian dan kaum tersebut telah terikat perjanjian damai atau orang-orang yang datang kepada kamu, sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kalian dan memerangi kaum mereka. Kalau Alloh menghendaki tentu Alloh memberi kekuasaan kepada mereka untuk menguasai kalian, lalu pastilah mereka memerangi kalian. Tetapi jika mereka membiarkan kalian dan tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian kepada kalian, maka Alloh tidak memberi jalan kepada kalian untuk melawan dan membunuh mereka.
Kelak kalian akan mendapati kelompok yang lain, yang bermaksud supaya aman dari kalian dan aman dari kaumnya, setiap kali mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik) merekapun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kalian dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepada kalian serta tidak menahan tangan mereka untuk memerangi kalian maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka dan merekalah yang Kami berikan kepada kalian alasan yang nyata untuk menawan dan membunuh mereka”. (QS. An-Nisa’: 89-91)
Para ulama menafsirkan ayat-ayat ini sebagai berikut :
a- Imam Abu Daud meriwayatkan dalam kitab Naskh-nya, juga Imam Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, An-Nuhas dan Al-Baihaqi dalam sunannya dari shahabat Ibnu Abbas, beliau berkata tentang ayat 89-91 An Nisa’,” Ayat ini telah dinaskh oleh ayat Al Bara’ah (QS. At Taubah :5).”
b- Imam Abdu Razaq, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Qatadah yang berkata,” Ayat ini telah dinaskh oleh firman Allah (Maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian menemukan mereka…”, QS. At-Taubah :5).
c- Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah dan Al Hasan yang berkata,”Telah dinaskh oleh Al Bara-ah.”
(4). Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh :
لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ .
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 60:8-9)
Jawaban:
Para ulama’ tafsir berselisih pendapat tentang makna ayat ini:
a- Imam Ibnu Zaid dan Qotadah serta sebuah riwayat dari Ibnu Syihab Al-Khofaji berpendapat ayat ini telah mansukh dengan ayat-ayat qital dalam surat At-Taubah dan ayat-ayat qital yang lain. Menurut mereka, berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi Islam bertolak belakang dengan perintah untuk memerangi mereka.
b- Imam Al-Jasash berpendapat, ayat ini adalah izin untuk berbuat baik kepada kafir dzimmi yang membayar jizyah kepada Imam. Beliau berkata :
وَقَوْلُهُ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ عُمُومٌ فِي جَوَازِ دَفْعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ إِذْ لَيْسَ هُمْ مِنْ أَهْلِ قِتَالِنَا ، وَفِيهِ النَّهْيُ عَنِ الصَّدَقَةِ ِلأَهْلِ اْلحَرْبِ لِقَولِهِ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ ….
” Firman Allah (أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ) adalah keumuman bolehnya memberikan sadaqah kepada ahlu dzimah, karena mereka tidak memerangi kita. Ayat ini juga mengandung larangan memberikan sadaqah kepada orang kafir yang memerangi kita, berdasar firman Allah (إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ).”
c- Sebagian ulama tafsir —termasuk Imam Ibnu Katsir— berpendapat, ayat ini adalah izin dari Allah untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak turut atau mampu berperang, seperti kaum wanita dan anak-anak kafir. Menurut mereka, ayat ini muhkamah (tidak mansukh). Imam Ibnu Katsir berkata :
أي لاَ يَنْهَاكُمْ عَنِ ْالإِحْسَانِ إِلَى اْلكَفَرَةِ الَّذِينَ لاَ يُقَاتِلُونَكُمْ فِي الدِّينِ كَالنِّسَاءِ وَالضَّعَفَةِ مِنْهُمْ.
” Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada orang=orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah di antara mereka.”
d- Imam Mujahid berpendapat, ayat ini adalah izin dari Allah untuk berbuat baik kepada kaum mukmin di Mekah yang belum berhijroh ke Madinah.
e- Sebagian ulama tafsir — termasuk imam Al Qurthubi, Ibnu ‘Arabi, Fakhrudin Al-Razi dan Jamaludin Al-Qasimi— berpendapat, ayat ini adalah rukhsoh (dispensasi) untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Ayat ini adalah dalil atas bolehnya berbuat baik kepada mereka, meskipun tidak boleh berwala’ kepada mereka. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat dan didukung oleh sebab turunnya :
عَنء أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا قَالَتْ أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آصِلُهَا؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا ( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ ).
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
Dari Asma’ bintu Abi Bakar ia berkata,” Ibuku mendatangiku dengan penuh kerinduan pada masa Rasulullah. Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ” Apakah saya boleh menyambung hubungan dengannya ?” Beliau menjawab,” Ya.”
Ibnu ‘Uyainah berkata,” Maka Allah menurunkan ayat (لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ).” Dalam riwayat lain :
” Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku pada masa perjanjian damai dengan Quraisy (perjanjian Hudaibiyah). Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah. Aku bertanya,” Ibuku mengunjungiku dengan penuh kerinduan. Bolehkan aku menyambung silaturahmi ? Rasulullah menjawab,” Ya, sambunglah hubungan dengan ibumi.”
Imam Fakhrudien Ar-Razi mengatakan,” Maknanya Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada mereka, namun yang Allah larang adalah kalian berwala’ kepada mereka. Ini merupakan sebuah bentuk rahmah kepada mereka, karena kerasnya permusuhan mereka. Ayat ini menunjukkan bolehnya berbuat baik antara orang-orang musyrik dengan orang-orang Islam, sekalipun hubungan wala’ telah terputus.”
f- Imam Ibnu Jarir At-Thabari berpendapat, ayat ini tidak dimansukh, pun tidak dikhususkan boleh berbuat kepada golongan kafir tertentu (anak-anak dan wanita, atau ahli dzimah). Ayat ini berlaku umum, karena berbuat baik tidak identik dengan memberikan wala’. Beliau berkata :
وَأَوْلَى ْالأَقْوَالِ فِي ذَلِكَ بِالصَّوَابِ قَوْلُ مَنْ قَالَ عَنَى بِذَلِكَ لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِنْ جَمِيعِ أَصْنَافِ اْلمِلَلِ وَاْلأَدْيَانِ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتَصِلُوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيهِمْ ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَمَّ بِقَولِهِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم جَمِيعَ مَنْ كَانَ ذَلِكَ صِفَتُهُ فَلَمْ يُخَصِّصْ بِهِ بَعْضاً دُونَ بَعْضٍ ، وَلاَ مَعْنَى لِقَولِ مَنْ قَالَ ذَلِكَ مَنْسُوخٌ ِلأَنَّ بِرَّ اْلمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ اْلحَرْبِ مِمَّنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَرَابَةُ نَسَبٍ، أَوْ مِمَّنْ لاَ قَرَابَةَ بَيَنَهُ وَلاَ نَسَبَ غَيْرُ مُحَرَّمٍ وَلاَ مَنْهِيُّ عَنْهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ دِلاَلَةٌ لَهُ، أَوْ ِلأَهْلِ الْحَرْبِ عَلَى عَوْرَةٍِ ِلأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ أَوْ تَقْوِيَّةٌ لَهُمْ بِكِرَاعٍ أَوْ سِلاَحٍ.
” Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم) adalah semua orang kafir dari seluruh agama yang ada, yang tidak memerangi umat Islam. Kalian boleh berbuat baik, menyambung hubungan dan berbuat adil kepada mereka.
Firman Allah Ta’ala (لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم) umum mencakup seluruh orang yang mempunyai sifat ini. Ayat ini tidak mengkhususkan golongan tertentu. Pun, tidak perlu ada pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh ; karena perbuat baik kaum beriman keada orang kafir yang mempunyai hubungan nasab, ata tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan nasab, adalah tidak haram dan tidak dilarang, selama hal itu tidak sampai menunjukkan kepada si kafir tersebut atau kaumnya yang kafir kepada rahasia umat Islam, atau menguatkan kaum kafir tersebut dengan persenjataan.”
Bila kita mengkaji pendapat para ulama tafsir ini, bisa disimpulkan bahwa :
- Ayat pertama menerangkan ; Alloh tidaklah melarang kaum muslimin berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Namun bukan berarti ayat itu perintah untuk tidak memerangi mereka. Sebab, berbuat baik tidak bertentangan dengan kewajiban memerangi mereka.
- Ayat kedua menerangkan : Allah melarang kaum muslimin memberikan sikap wala’, loyalitas, dukungan dan ketaatan kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Namun juga bukan berarti, umat Islam tidak boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Ada nash-nash lain yang menunjukkan kebolehan berbuat baik dan adil kepada mereka.
- Kedua ayat ini berbicara tentang dua golongan orang kafir ; kaum kafir yang memerangi umat Islam, dan kaum kafir yang tidak memerangi umat Islam. Meski demikian, perlakuan Islam kepada mereka sama : umat Islam boleh berbuat baik dan adil kepada mereka, umat Islam tidak boleh berwala’ kepada mereka dan umat Islam boleh memerangi mereka.
- Umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka, sebelum, ketika dan sesudah berperang. Sebelum berperang, umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka dengan mendakwahi mereka. Ketika berperang, umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka dengan ; tidak mencincang mayat, tidak membunuh perempuan dan anak-anak, dan adab-adab perang yang lain yang harus dijaga oleh umat Islam. Jika perang telah usai dengan kemenangan di tangan umat Islam, umat Islam tetap berbuat baik kepada mereka ; membuka peluang untuk membebaskan tawanan, menebus tawanan memberi makanan standar, memperlakukan dengan bauk serta adab-adab terhadp tawanan lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa perintah untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir, tidak bertentangan dengan perintah untuk memerangi mereka. Maka, pendapat ulama tafsir yang lebih benar —wallohu a’lam bish-shawab— adalah pendapat imam Ath-Thobari ; bahwa ayat tersebut berlaku umum, tidak mansukh dan tidak pula terkhususkan.
Kebolehan berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir, baik yang memerangi umat Islam maupun tidak, juga telah ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyatakan :
” Menjaga hubungan dengan harta, berbuat kebajikan, berlaku adil, berbicara lembut dan surat-menyurat dengan hukum Alloh (surat dakwah), bukan termasuk bentuk berwala’ kepada orang-orang yang dilarang untuk memberikan perwala’an kepada mereka karena mereka memerangi umat Islam.
Alasannya, Alloh membolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang musyrik yang tidak memerangi umat Islam. Allah tidak mengharamkan (berbuat baik dan adil) kepada orang-orang musyrik yang memusuhi umat Islam. Alloh hanya menyebutkan mereka yang memusuhi, lalu Alloh melarang untuk berwala’ kepada mereka. Dan berwala’ tidaklah sama dengan berbuat baik dan adil.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengambil tebusan dari tawanan perang Badar. Abu ‘Izzah Al-Jumahi adalah salah seorang musyrik yang dibebaskan, padahal dia tekenal sangat memusuhi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, baik dengan lisan maupun perbuatan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam juga membebaskan Tsumamah bin Utsal setelah perang Badar, padahal ia terkenal sangat memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah memerintahkan untuk membunuhnya, namun beliau justru membebaskannya setelah ia tertawan. Maka Tsumamah masuk Islam dan memboikot makanan penduduk Mekkah. Lalu penduduk Makkah meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk memberi makanan kepada mereka, maka beliau mengabulkan permintaan mereka. Alloh Ta’ala berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“ Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan,76:8). Dan tawanan termasuk orang-orang yang memusuhi Alloh dan Rosul-Nya.”
Tidak Ada Paksaan Dalam Agama
(5). Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh :
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqoroh: 256)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِيْنَ
“ Dan jikalau Tuhanmu berkehendak, tentulah semua orang di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa semua manusia untuk menjadi orang-orang beriman?” (QS. Yunus: 99)
Jawab :
Sebenarnya kedua ayat di atas tidak bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan bahwa (a)-sebab disyariatkannya jihad adalah adanya kekafiran, dan (b)- dasar hubungan kaum muslimin dengan umat lain adalah hubungan perang.
Para ulama berselisih pendapat tentang makna ayat di atas :
Pertama, Ayat tersebut telah mansukh, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah memaksa penduduk Arab memeluk Islam. Beliau hanya memberi mereka dua pilihan : masuk Islam atau perang. Sulaiman bin Musa berkata,” Ayat ini telah dihapus dengan turunnya ayat,”Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq. QS. At-Taubah :93”. Ini adalah pendapat sahabat Ibnu Mas’ud dan banyak ulama tafsir.
Kedua, Ayat tersebut tidak mansukh (dihapus), melainkan turun terkhusus untuk kalangan Ahli Kitab. Bagi mereka ada tiga pilihan ; masuk Islam, membayar jizyah atau perang. Berbeda dengan para penyembah berhala, yang hanya mempunyai dua pilihan ; masuk Islam atau perang (QS. At-Taubah :29). Pendapat ini adalah pendapat imam Asy-Sya’bi, Qotadah, Al-Hasan, dan Al-Dhohak. Berdasar sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia telah berkata,” Aku telah mendengar Umar bin Khottob berkata kepada seorang nenek Nasroni,” Masuklah engkau ke dalam Islam tentu akan selamat ! Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran.” Si nenek menjawab,” Saya sudah tua renta, kematian pun sudah dekat.” Maka Umar pun berkata,” Ya Allah saksikanlah.” Ia lalu membacakan ayat,”laa Ikrooha Fieddien.”
Ketiga, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,” Ayat ini turun atas kaum Anshor. Suatu ketika ada seorang wanita yang tidak memiliki anak, lalu dia berjanji bila dikaruniai anak akan ia Yahudikan. Ketika penduduk Bani Nadhir diusir dari Madinah, di antara mereka terdapat kalangan Anshor. Mereka mengatakan,” Kami tidak akan meninggalkan anak-anak kami.” Maka Allah ta’ala menurunkan ayat tersebut.
Keempat, Menurut imam As-Suddy, ayat ini turun berkenaan dengan seorang Anshor yang bernama Abu Husain. Dia memiliki dua orang anak laki-laki. Suatu ketika serombongan pedagang dari Syam datang di Madinah, dengan membawa minyak wangi. Ketika mereka hendak berangkat, mendadak kedua anak tersebut mendatangi mereka. Mereka mengajak keduanya memeluk agama Nasroni, sehingga keduanya pun masuk agama Nasroni. Mereka lantas berangkat bersama menuju Syam. Melihat kenyataan demikian, sang ayah mendatangi Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam dengan mengutarakan permasalahannya. Ia berharap Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam mengutus seseorang untuk mengembalikan kedua anaknya. Maka turunlah ayat tersebut.
Pada waktu itu Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam belum diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab. Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam berkata,” Semoga Allah menjauhkan keduanya. Keduanya termasuk orang yang pertama kali kafir.” Abu Husain kecewa karena Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam tidak mengabulkan permintaannya. Lalu Allah menurunkan ayat,” Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” An-Nisa : 65. Ayat ini menghapus ayat laa ikrooha fieddien. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian diperintahkan memerangi Ahlu Kitab, sebagaimana tertera dalam surat Al-Baro’ah.
Kelima, Orang kafir yang telah menyerah kalah dalam peperangan, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam. Ia boleh tetap memeluk agamanya, namun membayar jizyah dan menetapi aturan hukum Islam, sebagai imbalan atas kebebasan beragama dan jaminan keamanan yang diberikan oleh kaum muslimin kepadanya.
Pernyataan “tidak ada paksaan dalam beragama” dengan dalil kedua ayat di atas, bisa dijawab sebagai berikut :
• Selama orang kafir bebas memilih antara tiga pilihan; masuk Islam, membayar jizyah dan perang, maka sebenarnya tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Sehingga dasar hubungan perang atau disyariatkannya jihad, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menegaskan tidak ada paksaan dalam beragam.
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Buraidah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ….إِذَا لَقَيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلَ فَأَيَّتُهُنَّ أَجَابُوكَ فَاقْبِلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
“ Apabila kamu menjumpai musuhmu dari orang-orang musyrik maka tawarkanlah kepada mereka salah tiga perkara, mana saja yang mereka pilih terimalah dan tahanlah diri kalian.”
• Islam mensyariatkan jihad untuk menyebarkan dakwah Islam, menyelamatkan umat manusia dari kekafiran dan kesyirikan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan dunia menuju cahaya dunia dan akhirat. Tujuan peperangan melawan orang-orang kafir adalah menundukkan mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin dan syari’at Islam, bukan untuk memaksa setiap individu mereka untuk merubah agama mereka
Oleh karenanya, jihad dalam Islam bertujuan untuk menghilangkan hambatan politik, ekonomi, dan sosial yang menghalangi tersebar dan sampainya ajaran Islam kepada umat manusia di seluruh penjuru dunia. Jika dakwah Islam tidak akan sampai kepada mereka kecuali dengan menghilangkan berbagai pemerintahan yang mengendalikan sistem politik, ekonomi dan sosial yang menghalangi dakwah,tiada pilihan lain umat Islam harus menghunus senjata untuk menghadapi berbagai pemerintahan penghalang dakwah ini. Mereka diperangi, sampai menyerah dan membuka pintu bagi dakwah Islam untuk sampai kepada rakyat dengan bebas dan benar.
Jika sejak awal mereka membuka pintu agar dakwah Islam yang benar dan bebas sampai kepada rakyat, tentulah penggunaan kekerasan senjata tidak diperlukan. Islam datang untuk membangun, bukan merusak.
Persoalannya, berbagai pemerintahan kafir di dunia memperbudak rakyat mereka untuk tunduk beribadah kepada manusia, sebagai ganti dari tunduk beribadah kepada Allah Rabbul ‘Alamien. Mereka memperbudak manusia untuk memberikan ketaatan dan ketundukan penuh kepada sistem dan aturan buatan manusia, sebagai ganti dari ketundukan dan ketaatn kepada syariat Allah. Mereka menyebar luaskan ajaran dan sistem kekufuran, menyebarluaskan distorsi ajaran Islam, dan menutup-nutupi serta menghalangi sampainya ajaran Islam yang benar kepada rakyat.
Islam yang sampai dan dikenal oleh rakyat negara-negara kafir, adalah Islam versi pemerintahan kafir mereka ; Islam versi orientalis dan musuh-musuh Islam yang memendam kebencian abadi kepada Islam. Islam yang sebenarnya ;Islam menurut Al-Qur’an dan As-sunah; sengaja ditutup-tutupi, penyebarannya dihalangi secara sistematis.
Jihad disyariatkan untuk meruntuhkan tembok penghalang sampainya dakwah Islam yang benar kepada rakyat negara-negara kafir tersebut. Bila tembok penghalang telah menyerah, kalah dan runtuh, rakyat mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam. Mereka diberi kebebesan ; memeluk Islam atau tetap pada agama semula, dengan konskuensi membayar jizyah dan mentaati aturan kehidupan Islami. Sebagai balasannya, mereka merasakan jaminan keamanan dan kebebasan beragama.
Inilah fakta sejarah Islam yang telah terealisasikan selama seribu tahun lebih. Masa nubuwah, Khulafa’ Rasyidun, daulah Umawiyah, daulah Abbasiyah, daulah Mamalik, daulah Ayubiyah, daulah Murabithun, daulah Muwahidun dan daulah Utsmaniyah, menjadi bukti tak terbantahkan.
Tak pernah terbukti dalam sejarah, setelah mengalahkan musuh, umat Islam memaksa musuh untuk memeluk Islam. Justru, yang terbukti adalah sebaliknya. Kaum Salibis dan zionis yang mengangkat semboyan “cinta kasih”, membantai kaum jutaan muslimin yang menolak masuk agama Nasrani. Tragedi pembantaian terhadap kaum muslimin di Andalus, Palestina, Bosnia, Ambon-Maluku Utara-Poso dan beberapa penjuru dunia lainnya, membuktikan kaum kafir tidak mengenal kaedah “tidak ada paksaan dalam beragama.” Mereka hanya mengenal kaedah “masuk agama (sistem) kami atau kami bunuh”.
Islam mensyariatkan jihad, bukan untuk memaksa orang kafir agar memeluk Islam. Jihad disyariatkan untuk menghilangkan penghalang sampainya dakwah Islam yang benar kepada mereka. Dengan menangnya Islam dan tegaknya hukum Islam, mereka bebas memilih ; masuk Islam atau tetap pada agama semula dengan syarat tunduk pada hukum negara Islam. Dus, jihad bukan berarti memaksa mereka untuk masuk Islam.
Dasar Hubungan Adalah Perang
(1). Berdasar dalil-dalil syar’i dan penjelasan para ulama di atas, para ulama Islam menyimpulkan bahwa dasar hubungan antara umat Islam dengan umat non muslim adalah hubungan perang, bukan hubungan damai. Artinya, umat Islam boleh —bahkan wajib kifayah— b...erjihad melawan orang-orang kafir, sekalipun mereka tidak memerangi kaum muslimin.
Dr. Abdul Karim Zaidan berkata,” Asal dari hubungan antara negara-negara Islam dengan selain negara Islam adalah hubungan perang, bukan damai. Negara Islam berhak untuk menundukkan selain negara Islam ke dalam kekuasaan politik negara Islam dan qanun Islam, meskipun untuk itu harus perang jika memang selain negara Islam menolak untuk tunduk…
Sesungguhnya perdamaian antara negara Islam dan negara kafir (daaru harb) tidak terjadi kecuali dengan mu’ahadah (gencatan senjata/perjanjian damai selama masa tertentu), keislaman daaru harb atau menyerahnya daaru harb…karena itu seluruh fuqaha’ menamakan selain negara-negara Islam dengan istilah daaru harbi, dan mereka menganggap asal hubungan antara daaru harb dengan daaru Islam adalah hubungan perang.
Adapun perdamaian, maka tidak terjadi kecuali dengan (1) aman (jaminan keamanan) atau (2) iman, yaitu masuk Islam. Di antara pendapat seluruh fuqaha’ yang mereka bangun di atas asas ini adalah pendapat mereka bahwa ahlu kitab dan orang-orang Majusi diperangi sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah.”
Tidak Sembarang Berdamai
(2). Selain berdasar ayat-ayat dan hadits-hadits di atas, para ulama juga menyimpulkan hal ini dari berbagai dalil yang menunjukkan tidak boleh berdamai dengan orang kafir kecuali karena kebutuhan dan maslahat menuntut untuk berdamai. Allah Ta’ala berfirman :
فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ
“ Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yanng lebih tinggi kedudukannya. Dan Allah bersama kalian.” (QS. Muhammad: 35).
Ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan dasar hubungan dengan orang kafir. Perdamaian diperbolehkan dengan syarat terbatas dalam jangka waktu tertentu dan merealisasikan maslahat bagi kaum muslimin.
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata :
” (فَلاَتَهِنُوا) maksudnya janganlah kalian lemah melawan musuh (وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ) maksudnya meminta gencatan senjata, perjanjian damai dan pemberhentian perang antar kalian dengan orang-orang kafir, di saat kalian kuat, banyak personal dan perbekalan. Oleh karenanya Allah berfirman (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ), maksudnya di saat kalian berada di atas (menang atas) musuh kalian.
Adapun bila kaum kafir lebih kuat dan lebih banyak dari keseluruhan kaum muslimin, dan imam berpendapat dalam perjanjian damai dan gencatan senjata ada maslahat, maka imam boleh mengadakan perjanjian damai. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ketika kau kafir Quraisy menghalangi beliau dari Makkah. Mereka mengajak beliau berdamai dan menghentikan peperangan selama sepuluh tahun, maka beliau menerima ajakan mereka. Firman Allah (وَ اللهُ مَعَكُمْ) mengandung kabar gembira yang besar akan teraihnya kemenangan atas musuh.”
Imam An-Nawawi berkata :
” Tidak boleh mengadakan perjanjian damai dengan sebuah wilayah atau daerah, kecuali oleh Imam atau orang yang diserahi wewenang oleh imam. Jika hak mengadakan perdamaian ini diserahkan kepada setiap orang, tidak akan aman dari kemungkinan seseorang mengadakan perjanjian damai dengan sebuah wilayah, padahal sebenarnya maslahat terletak dalam perang melawan mereka. Akibatnya akan terjadi bahaya yang besar. Oleh karenanya, wewenang ini hanya di tangan Imam atau wakilnya.
Jika imam dalam posisi dominan (kuat), perjanjian damai harus dikaji. Jika dalam perjanjian damai tidak ada maslahat, Imam tidak boleh mengadakan perjanjian damai. Berdasar firman Allah (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ).”
Imam Al-Qusyairi berkata ;
إِذَا كَانَتِ اْلقُوَّةُ لِلْمُسْلِمِينَ فَيَنْبَغِي أَلاَّ تَبْلُغَ اْلهُدْنَةُ سَنَةً. وَ إِذَا كَانَتِ الْقُوَّةُ لِلْكُفَّارِ جَازَ مُهَادَنَتُهُمْ عَشْرَ سِنِينَ وَلاَ تَجُوزُ الزِّيَادَةُ.
“ Jika kaum muslimin mempunyai kekuatan, maka tidak sewajarnya mengadakan perjanjian damai (gencatan senjata) melebihi satu tahun. Adapun jika kekuatan berada di tangan orang-orang kafir, maka boleh mengadakan perjanjian damai selama sepuluh tahun, dan tidak boleh lebih dari itu.”
Imam Syafi’i berkata:
لاَ تَجُوزُ مُهَادَنَةُ الْمُشْرِكِينَ أَكْثَرَ مِنْ عَشْرِ سِنِينَ عَلَى مَا فَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَإِنْ هُوْدِنَ اْلمُشْرِكُونَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُنْتَقَضَةٌ ِلأَنَّ اْلأَصْلَ فَرْضُ قِتَالِ اْلمُشْرِكِينَ حَتىَّ يُؤْمِنُوا أَوْ يُعْطُوا اْلجِزْيَةَ.
” Perjanjian damai dengan orang-orang musyrik itu tidak boleh melebihi sepuluh tahun sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah.”
Imam Muwafaqudin bin Qudamah Al-Hambali berkata :
وَلاَ يَجُوزُ ذَلِكَ إِلاَّ عَلَى وَجْهِ النَّظَرِ لِلْمُسْلِمِينَ وَتَحْصِيلِ اْلمَصْلَحَةِ لَهُمْ لِقَولِ اللهِ تَعَالَى ((فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ وَ اللهُ مَعَكُمْ )) َوِلأَنَّ هُدْنَتَهُمْ مِنْ غَيرِ حَاجَةٍ , تَرْكٌ لِلْجِهَادِ الْوَاجِبِ لِغَيْرِ فَائِدَةٍ “.
” Tidak boleh mengadakan perjanjian damai kecuali dengan mengkaji kondisi kaum muslimin dan merealisasikan maslahat untuk mereka. Berdasar firman Allah (فَلاَتَهِنُوا وَتَدْعُوا إِلَى السَّلْمِ وَأَنتُمُ اْلأُعْلَوْنَ). Karena berdamai dengan orang-orang kafir tanpa tuntutan kebutuhan berarti meningggalkan kewajiban jihad tanpa mendapat faedah apapun.”
Tafsir Ayat-Ayat Perdamaian
(3). Sebagian pihak berpendapat dasar hubungan umat Islam dengan umat lain adalah hubungan damai, berdasar beberapa ayat yang berbicara tentang perdamaian. Namun dengan mengkaji pendapat para ulama terhadap beberapa ayat tersebut, nyatalah bahwa pendapat ini lemah.
* Di antara ayat yang memerintahkan berdamai, adalah firman Allah :
وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“ Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Alloh. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 61)
Para ulama salaf mempunyai tiga pendapat tentang ayat-ayat yang membolehkan untuk berdamai dengan orang-orang kafir :
a- Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh ayat yang membolehkan berdamai dengan orang-orang kafir telah dinaskh oleh surat At Taubah. Imam Qatadah mengatakan tentang ayat 61 surat Al Anfal,” Ayat itu berlaku sebelum turunnya surat Al Bara-ah. Adalah Nabi berdamai dengan manusia sampai tenggang waktu yang ditentukan, sampai mereka masuk Islam atau beliau memerangi mereka. Kemudian hal ini dinaskh dengan ayat dalam surat Al Bara-ah “ Bunuhlah orang-orang musyrik dimanapun kalian temukan mereka.” (At Taubah :5).”
Imam Al Qurthubi menyebutkan bahwa Imam Qatadah dan Ikrimah juga mengatakan,” Ayat itu dinaskh oleh ayat (maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kaliam dapatkan mereka QS. 9:5) dan (maka perangilah orang-orang musyrik secara keseluruhan QS. 9:36). Pendapat dinaskh-nya ayat-ayat yang membolehkan berdamai dengan orang-orang kafir juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Zaid bin Aslam, Atha’ dan Hasan Al Bashri. Begitu juga As Sudi . Hanya saja Ibnu Abbas dan As-Sudi menyatakan bahwa ayat yang menaskh adalah ayat 35 surat Muhammad.
b- Yang dimaksud kebolehan berdamai dengan orang-orang ahlu kitab dan Majusi jika mereka hendak berdamai adalah ketika mereka komitmen dengan kewajiban membayar jizyah. Jadi bukan sekedar berdamai, tanpa ketundukan kepada hukum Islam dan kewajiban membayar jizyah. Imam Al Qurthubi setelah menyebutkan pendapat pertama di atas mengatakan,” Ada yang berpendapat tidak dinaskh, melainkan maksudnya adalah menerima jizyah dari orang-orang ahlu jizyah. Para shahabat Rasulullah pada masa Umar bin Khathab dan para pemimpin sesudahnya telah mengadakan perdamaian dengan banyak negeri-negeri Ajam dengan mengambil apa yang mereka ambil dari mereka (jizyah) dengan balasan mereka membiarkan keadaan mereka (apa yang menjadi keyakinan mereka), padahal mereka mampu mencabut orang-orang Ajam tersebut sampai ke akar-akarnya.”
c- Pendapat yang menyatakan bahwa kebolehan berdamai dengan orang-orang kafir dalam ayat adalah ketika kondisi darurat yang memaksa untuk berdamai demi merealisasikan maslahat bagi umat Islam. Ini adalah pendapat imam Ibnu Al Arabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Imam Ibnu Abidin mengatakan,” Firman Allah (Jika mereka cenderung untuk berdamai) maksudnya adalah berkeinginan. Ayat ini berdasar ijma’ adalah muqayadah (terikat) dengan pertimbangan adanya kemaslahatan, berdasar firman Allah Ta’ala (QS. Muhammad :35, Maka janganlah kamu lemah dan mengajak berdamai padahal kalian lebih mulia).”
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :
قَوْلُهُ (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ) جَنَحُوا طَلَبُوا السِّلْمَ, فَاجْنَحْ لَهَا أي أَنَّ هَذِهِ اْلآيَةَ دَالَّةٌ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ اْلمُصَالَحَةِ مَعَ اْلمُشْرِكِينَ، وَتَفْسِيرُ جَنَحُوا بِطَلَبُوا هُوَ لِلْمُصَنِّفِ ، وَقَالَ غَيْرُهُ مَعْنَى جَنَحُوا مَالُوا ، وَقَالَ أَبُو عُبَيدَةَ : السَّلْمُ وَالسِّلْمُ وَاحِدٌ وَهُوَ الصُّلْحُ . وَقاَلَ أَبُو عُمَرَ : وَالسَّلْمُ باِلْفَتْحِ الصُّلْحُ ، وَالسِّلْمُ بِالْكَسْرِ اْلإِسْلاَمُ . وَمَعْنَى الشَّرْطِ فِي ْالآيَةِ أَنَّ اْلأَمْرَ بِالصُّلْحِ مُقَيَّدٌ بِمَا إِذَا كَانَ اْلأَحَظَّ لِْلإِسْلاَمِ اْلمُصَالَحَةُ، أَمَّا إِذَا كَانْ ْالإِسْلاَمُ ظَاهِراً عَلَى اْلكُفْرِ وَلْمْ تَظْهَرِ اْلمَصْلَحَةُ فِي اْلمُصَالَحَةِ فَلاَ . أهـ
” Firman Allah (وَإِنْ جَنَحُوا لِلسِّلْمِ) makna جَنَحُوا adalah طَلَبُوا السِّلْمَ meminta perdamaian. (فَاجْنَحْ لَهَا). Ayat ini menunjukkan disyariatkannya perjanjian damai dengan orang-orang musyrik. Penafsiran (جَنَحُوا) dengan makna (طَلَبُوا) adalah penafsiran pengarang (imam Bukhari). Ulama lain menafsirkannya dengan makna (مَالُوا) cenderung (condong). Abu Ubaidah berkata,” As-Salmu dan As-silmu itu sama, maknanya perdamaian. Abu Umar berkata,” As-salmu berarti perdamaian, sedang as-silmu berarti Islam.”
Makna persyaratan dalam ayat ini adalah, perdamaian diikat oleh syarat bila yang lebih baik bagi umat Islam adalah perdamaian. Adapun bila Islam lebih dominan atas kekafiran dan maslahat dalam perjanjian damai tidak dominan, maka tidak boleh mengadakan perjanjian damai.”
Keterangan para ulama ini menunjukkan bahwa ayat 61 surat Al-Anfal ini telah mansukh (pendapat pertama), atau boleh berdamai dengan syarat orang kafir membayar jizyah (pendapat kedua), atau boleh berdamai dengan syarat membawa maslahat yang dominan bagi umat Islam, dan itu terjadi disaat posisi umat Islam lebih lemah dari musuh (pendapat ketiga). Dus, ayat ini tidak menunjukkan wajibnya mengadakan perjanjian damai dengan musuh. Juga, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah hubungan damai.
* Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh tentang orang-orang munafiq :
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَآءً فَلاَ تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَآءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فَإِن تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَلاَتَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلاَ نَصِيرًا . إِلاَّ الَّذِينَ يَصِلُونَ إِلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ أَوْ جَآءُوكُمْ حَصِرَتْ صُدُورُهُمْ أَن يُقَاتِلُوكُمْ أَوْ يُقَاتِلُوا قَوْمَهُمْ وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَسَلَّطَهُمْ عَلَيْكُمْ فَلَقَاتَلُوكُمْ فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيلاً . سَتَجِدُونَ ءَاخَرِينَ يُرِيدُونَ أَن يَأْمَنُوكُمْ وَيَأْمَنُوا قَوْمَهُمْ كُلَّ مَارُدُّوا إِلَى الْفِتْنَةِ أُرْكِسُوا فِيهَا فَإِن لَّمْ يَعْتَزِلُوكُمْ وَيُلْقُوا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ وَيَكُفُّوا أَيْدِيَهُمْ فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأُوْلاَئِكُمْ جَعَلْنَا لَكُمْ عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا مُّبِينًا
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kalian menjadi sama dengan mereka. Maka janganlah kalian jadikan diantara mereka penolong-penolong kalian. Jika mereka berpaling, maka tawanlah dan bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka, dan janganlah kalian menjadikan seorangpun diantara mereka sebagai pelindung dan juga penolong.
Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kalian dan kaum tersebut telah terikat perjanjian damai atau orang-orang yang datang kepada kamu, sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kalian dan memerangi kaum mereka. Kalau Alloh menghendaki tentu Alloh memberi kekuasaan kepada mereka untuk menguasai kalian, lalu pastilah mereka memerangi kalian. Tetapi jika mereka membiarkan kalian dan tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian kepada kalian, maka Alloh tidak memberi jalan kepada kalian untuk melawan dan membunuh mereka.
Kelak kalian akan mendapati kelompok yang lain, yang bermaksud supaya aman dari kalian dan aman dari kaumnya, setiap kali mereka diajak kembali kepada fitnah (syirik) merekapun terjun ke dalamnya. Karena itu jika mereka tidak membiarkan kalian dan tidak mau mengemukakan perdamaian kepada kalian serta tidak menahan tangan mereka untuk memerangi kalian maka tawanlah mereka dan bunuhlah mereka dimana saja kalian menjumpai mereka dan merekalah yang Kami berikan kepada kalian alasan yang nyata untuk menawan dan membunuh mereka”. (QS. An-Nisa’: 89-91)
Para ulama menafsirkan ayat-ayat ini sebagai berikut :
a- Imam Abu Daud meriwayatkan dalam kitab Naskh-nya, juga Imam Ibnu Mundzir, Ibnu Abi Hatim, An-Nuhas dan Al-Baihaqi dalam sunannya dari shahabat Ibnu Abbas, beliau berkata tentang ayat 89-91 An Nisa’,” Ayat ini telah dinaskh oleh ayat Al Bara’ah (QS. At Taubah :5).”
b- Imam Abdu Razaq, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Qatadah yang berkata,” Ayat ini telah dinaskh oleh firman Allah (Maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian menemukan mereka…”, QS. At-Taubah :5).
c- Imam Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ikrimah dan Al Hasan yang berkata,”Telah dinaskh oleh Al Bara-ah.”
(4). Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh :
لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ .
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. 60:8-9)
Jawaban:
Para ulama’ tafsir berselisih pendapat tentang makna ayat ini:
a- Imam Ibnu Zaid dan Qotadah serta sebuah riwayat dari Ibnu Syihab Al-Khofaji berpendapat ayat ini telah mansukh dengan ayat-ayat qital dalam surat At-Taubah dan ayat-ayat qital yang lain. Menurut mereka, berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi Islam bertolak belakang dengan perintah untuk memerangi mereka.
b- Imam Al-Jasash berpendapat, ayat ini adalah izin untuk berbuat baik kepada kafir dzimmi yang membayar jizyah kepada Imam. Beliau berkata :
وَقَوْلُهُ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ عُمُومٌ فِي جَوَازِ دَفْعِ الصَّدَقَاتِ إِلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ إِذْ لَيْسَ هُمْ مِنْ أَهْلِ قِتَالِنَا ، وَفِيهِ النَّهْيُ عَنِ الصَّدَقَةِ ِلأَهْلِ اْلحَرْبِ لِقَولِهِ إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ ….
” Firman Allah (أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ) adalah keumuman bolehnya memberikan sadaqah kepada ahlu dzimah, karena mereka tidak memerangi kita. Ayat ini juga mengandung larangan memberikan sadaqah kepada orang kafir yang memerangi kita, berdasar firman Allah (إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ).”
c- Sebagian ulama tafsir —termasuk Imam Ibnu Katsir— berpendapat, ayat ini adalah izin dari Allah untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak turut atau mampu berperang, seperti kaum wanita dan anak-anak kafir. Menurut mereka, ayat ini muhkamah (tidak mansukh). Imam Ibnu Katsir berkata :
أي لاَ يَنْهَاكُمْ عَنِ ْالإِحْسَانِ إِلَى اْلكَفَرَةِ الَّذِينَ لاَ يُقَاتِلُونَكُمْ فِي الدِّينِ كَالنِّسَاءِ وَالضَّعَفَةِ مِنْهُمْ.
” Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada orang=orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah di antara mereka.”
d- Imam Mujahid berpendapat, ayat ini adalah izin dari Allah untuk berbuat baik kepada kaum mukmin di Mekah yang belum berhijroh ke Madinah.
e- Sebagian ulama tafsir — termasuk imam Al Qurthubi, Ibnu ‘Arabi, Fakhrudin Al-Razi dan Jamaludin Al-Qasimi— berpendapat, ayat ini adalah rukhsoh (dispensasi) untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Ayat ini adalah dalil atas bolehnya berbuat baik kepada mereka, meskipun tidak boleh berwala’ kepada mereka. Pendapat ini merupakan pendapat yang kuat dan didukung oleh sebab turunnya :
عَنء أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِي اللَّه عَنْهمَا قَالَتْ أَتَتْنِي أُمِّي رَاغِبَةً فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آصِلُهَا؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهَا ( لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ ).
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي قَالَ نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ
Dari Asma’ bintu Abi Bakar ia berkata,” Ibuku mendatangiku dengan penuh kerinduan pada masa Rasulullah. Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ” Apakah saya boleh menyambung hubungan dengannya ?” Beliau menjawab,” Ya.”
Ibnu ‘Uyainah berkata,” Maka Allah menurunkan ayat (لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ).” Dalam riwayat lain :
” Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku pada masa perjanjian damai dengan Quraisy (perjanjian Hudaibiyah). Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah. Aku bertanya,” Ibuku mengunjungiku dengan penuh kerinduan. Bolehkan aku menyambung silaturahmi ? Rasulullah menjawab,” Ya, sambunglah hubungan dengan ibumi.”
Imam Fakhrudien Ar-Razi mengatakan,” Maknanya Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada mereka, namun yang Allah larang adalah kalian berwala’ kepada mereka. Ini merupakan sebuah bentuk rahmah kepada mereka, karena kerasnya permusuhan mereka. Ayat ini menunjukkan bolehnya berbuat baik antara orang-orang musyrik dengan orang-orang Islam, sekalipun hubungan wala’ telah terputus.”
f- Imam Ibnu Jarir At-Thabari berpendapat, ayat ini tidak dimansukh, pun tidak dikhususkan boleh berbuat kepada golongan kafir tertentu (anak-anak dan wanita, atau ahli dzimah). Ayat ini berlaku umum, karena berbuat baik tidak identik dengan memberikan wala’. Beliau berkata :
وَأَوْلَى ْالأَقْوَالِ فِي ذَلِكَ بِالصَّوَابِ قَوْلُ مَنْ قَالَ عَنَى بِذَلِكَ لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِنْ جَمِيعِ أَصْنَافِ اْلمِلَلِ وَاْلأَدْيَانِ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتَصِلُوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيهِمْ ، إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَمَّ بِقَولِهِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم جَمِيعَ مَنْ كَانَ ذَلِكَ صِفَتُهُ فَلَمْ يُخَصِّصْ بِهِ بَعْضاً دُونَ بَعْضٍ ، وَلاَ مَعْنَى لِقَولِ مَنْ قَالَ ذَلِكَ مَنْسُوخٌ ِلأَنَّ بِرَّ اْلمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ اْلحَرْبِ مِمَّنْ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَرَابَةُ نَسَبٍ، أَوْ مِمَّنْ لاَ قَرَابَةَ بَيَنَهُ وَلاَ نَسَبَ غَيْرُ مُحَرَّمٍ وَلاَ مَنْهِيُّ عَنْهُ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ دِلاَلَةٌ لَهُ، أَوْ ِلأَهْلِ الْحَرْبِ عَلَى عَوْرَةٍِ ِلأَهْلِ اْلإِسْلاَمِ أَوْ تَقْوِيَّةٌ لَهُمْ بِكِرَاعٍ أَوْ سِلاَحٍ.
” Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم) adalah semua orang kafir dari seluruh agama yang ada, yang tidak memerangi umat Islam. Kalian boleh berbuat baik, menyambung hubungan dan berbuat adil kepada mereka.
Firman Allah Ta’ala (لاَيَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم) umum mencakup seluruh orang yang mempunyai sifat ini. Ayat ini tidak mengkhususkan golongan tertentu. Pun, tidak perlu ada pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh ; karena perbuat baik kaum beriman keada orang kafir yang mempunyai hubungan nasab, ata tidak mempunyai hubungan kekerabatan dan nasab, adalah tidak haram dan tidak dilarang, selama hal itu tidak sampai menunjukkan kepada si kafir tersebut atau kaumnya yang kafir kepada rahasia umat Islam, atau menguatkan kaum kafir tersebut dengan persenjataan.”
Bila kita mengkaji pendapat para ulama tafsir ini, bisa disimpulkan bahwa :
- Ayat pertama menerangkan ; Alloh tidaklah melarang kaum muslimin berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum muslimin. Namun bukan berarti ayat itu perintah untuk tidak memerangi mereka. Sebab, berbuat baik tidak bertentangan dengan kewajiban memerangi mereka.
- Ayat kedua menerangkan : Allah melarang kaum muslimin memberikan sikap wala’, loyalitas, dukungan dan ketaatan kepada kaum kafir yang memerangi kaum muslimin. Namun juga bukan berarti, umat Islam tidak boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka. Ada nash-nash lain yang menunjukkan kebolehan berbuat baik dan adil kepada mereka.
- Kedua ayat ini berbicara tentang dua golongan orang kafir ; kaum kafir yang memerangi umat Islam, dan kaum kafir yang tidak memerangi umat Islam. Meski demikian, perlakuan Islam kepada mereka sama : umat Islam boleh berbuat baik dan adil kepada mereka, umat Islam tidak boleh berwala’ kepada mereka dan umat Islam boleh memerangi mereka.
- Umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka, sebelum, ketika dan sesudah berperang. Sebelum berperang, umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka dengan mendakwahi mereka. Ketika berperang, umat Islam berbuat baik dan adil kepada mereka dengan ; tidak mencincang mayat, tidak membunuh perempuan dan anak-anak, dan adab-adab perang yang lain yang harus dijaga oleh umat Islam. Jika perang telah usai dengan kemenangan di tangan umat Islam, umat Islam tetap berbuat baik kepada mereka ; membuka peluang untuk membebaskan tawanan, menebus tawanan memberi makanan standar, memperlakukan dengan bauk serta adab-adab terhadp tawanan lainnya.
Dengan demikian jelas bahwa perintah untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir, tidak bertentangan dengan perintah untuk memerangi mereka. Maka, pendapat ulama tafsir yang lebih benar —wallohu a’lam bish-shawab— adalah pendapat imam Ath-Thobari ; bahwa ayat tersebut berlaku umum, tidak mansukh dan tidak pula terkhususkan.
Kebolehan berbuat baik dan adil kepada orang-orang kafir, baik yang memerangi umat Islam maupun tidak, juga telah ditegaskan oleh Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyatakan :
” Menjaga hubungan dengan harta, berbuat kebajikan, berlaku adil, berbicara lembut dan surat-menyurat dengan hukum Alloh (surat dakwah), bukan termasuk bentuk berwala’ kepada orang-orang yang dilarang untuk memberikan perwala’an kepada mereka karena mereka memerangi umat Islam.
Alasannya, Alloh membolehkan untuk berbuat baik dan adil kepada orang-orang musyrik yang tidak memerangi umat Islam. Allah tidak mengharamkan (berbuat baik dan adil) kepada orang-orang musyrik yang memusuhi umat Islam. Alloh hanya menyebutkan mereka yang memusuhi, lalu Alloh melarang untuk berwala’ kepada mereka. Dan berwala’ tidaklah sama dengan berbuat baik dan adil.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengambil tebusan dari tawanan perang Badar. Abu ‘Izzah Al-Jumahi adalah salah seorang musyrik yang dibebaskan, padahal dia tekenal sangat memusuhi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam, baik dengan lisan maupun perbuatan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam juga membebaskan Tsumamah bin Utsal setelah perang Badar, padahal ia terkenal sangat memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau pernah memerintahkan untuk membunuhnya, namun beliau justru membebaskannya setelah ia tertawan. Maka Tsumamah masuk Islam dan memboikot makanan penduduk Mekkah. Lalu penduduk Makkah meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam untuk memberi makanan kepada mereka, maka beliau mengabulkan permintaan mereka. Alloh Ta’ala berfirman :
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
“ Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan,76:8). Dan tawanan termasuk orang-orang yang memusuhi Alloh dan Rosul-Nya.”
Tidak Ada Paksaan Dalam Agama
(5). Pihak yang menyatakan dasar hubungan umat Islam dengan kaum kafir adalah perdamaian, juga berdalil dengan firman Alloh :
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqoroh: 256)
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِيْنَ
“ Dan jikalau Tuhanmu berkehendak, tentulah semua orang di muka bumi ini akan beriman. Maka apakah kamu hendak memaksa semua manusia untuk menjadi orang-orang beriman?” (QS. Yunus: 99)
Jawab :
Sebenarnya kedua ayat di atas tidak bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan bahwa (a)-sebab disyariatkannya jihad adalah adanya kekafiran, dan (b)- dasar hubungan kaum muslimin dengan umat lain adalah hubungan perang.
Para ulama berselisih pendapat tentang makna ayat di atas :
Pertama, Ayat tersebut telah mansukh, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam telah memaksa penduduk Arab memeluk Islam. Beliau hanya memberi mereka dua pilihan : masuk Islam atau perang. Sulaiman bin Musa berkata,” Ayat ini telah dihapus dengan turunnya ayat,”Wahai Nabi, perangilah orang-orang Kafir dan Munafiq. QS. At-Taubah :93”. Ini adalah pendapat sahabat Ibnu Mas’ud dan banyak ulama tafsir.
Kedua, Ayat tersebut tidak mansukh (dihapus), melainkan turun terkhusus untuk kalangan Ahli Kitab. Bagi mereka ada tiga pilihan ; masuk Islam, membayar jizyah atau perang. Berbeda dengan para penyembah berhala, yang hanya mempunyai dua pilihan ; masuk Islam atau perang (QS. At-Taubah :29). Pendapat ini adalah pendapat imam Asy-Sya’bi, Qotadah, Al-Hasan, dan Al-Dhohak. Berdasar sebuah hadits yang telah diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dari ayahnya, ia telah berkata,” Aku telah mendengar Umar bin Khottob berkata kepada seorang nenek Nasroni,” Masuklah engkau ke dalam Islam tentu akan selamat ! Allah telah mengutus Muhammad dengan kebenaran.” Si nenek menjawab,” Saya sudah tua renta, kematian pun sudah dekat.” Maka Umar pun berkata,” Ya Allah saksikanlah.” Ia lalu membacakan ayat,”laa Ikrooha Fieddien.”
Ketiga, Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata,” Ayat ini turun atas kaum Anshor. Suatu ketika ada seorang wanita yang tidak memiliki anak, lalu dia berjanji bila dikaruniai anak akan ia Yahudikan. Ketika penduduk Bani Nadhir diusir dari Madinah, di antara mereka terdapat kalangan Anshor. Mereka mengatakan,” Kami tidak akan meninggalkan anak-anak kami.” Maka Allah ta’ala menurunkan ayat tersebut.
Keempat, Menurut imam As-Suddy, ayat ini turun berkenaan dengan seorang Anshor yang bernama Abu Husain. Dia memiliki dua orang anak laki-laki. Suatu ketika serombongan pedagang dari Syam datang di Madinah, dengan membawa minyak wangi. Ketika mereka hendak berangkat, mendadak kedua anak tersebut mendatangi mereka. Mereka mengajak keduanya memeluk agama Nasroni, sehingga keduanya pun masuk agama Nasroni. Mereka lantas berangkat bersama menuju Syam. Melihat kenyataan demikian, sang ayah mendatangi Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam dengan mengutarakan permasalahannya. Ia berharap Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam mengutus seseorang untuk mengembalikan kedua anaknya. Maka turunlah ayat tersebut.
Pada waktu itu Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam belum diperintahkan untuk memerangi Ahli Kitab. Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam berkata,” Semoga Allah menjauhkan keduanya. Keduanya termasuk orang yang pertama kali kafir.” Abu Husain kecewa karena Rosulullah Shallalahu ‘alaihi wa salam tidak mengabulkan permintaannya. Lalu Allah menurunkan ayat,” Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” An-Nisa : 65. Ayat ini menghapus ayat laa ikrooha fieddien. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian diperintahkan memerangi Ahlu Kitab, sebagaimana tertera dalam surat Al-Baro’ah.
Kelima, Orang kafir yang telah menyerah kalah dalam peperangan, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam. Ia boleh tetap memeluk agamanya, namun membayar jizyah dan menetapi aturan hukum Islam, sebagai imbalan atas kebebasan beragama dan jaminan keamanan yang diberikan oleh kaum muslimin kepadanya.
Pernyataan “tidak ada paksaan dalam beragama” dengan dalil kedua ayat di atas, bisa dijawab sebagai berikut :
• Selama orang kafir bebas memilih antara tiga pilihan; masuk Islam, membayar jizyah dan perang, maka sebenarnya tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Sehingga dasar hubungan perang atau disyariatkannya jihad, sama sekali tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang menegaskan tidak ada paksaan dalam beragam.
Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Buraidah :
عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ….إِذَا لَقَيْتَ عَدُوَّكَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فَادْعُهُمْ إِلَى ثَلاَثِ خِصَالٍ أَوْ خِلاَلَ فَأَيَّتُهُنَّ أَجَابُوكَ فَاقْبِلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ
“ Apabila kamu menjumpai musuhmu dari orang-orang musyrik maka tawarkanlah kepada mereka salah tiga perkara, mana saja yang mereka pilih terimalah dan tahanlah diri kalian.”
• Islam mensyariatkan jihad untuk menyebarkan dakwah Islam, menyelamatkan umat manusia dari kekafiran dan kesyirikan, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan dunia menuju cahaya dunia dan akhirat. Tujuan peperangan melawan orang-orang kafir adalah menundukkan mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin dan syari’at Islam, bukan untuk memaksa setiap individu mereka untuk merubah agama mereka
Oleh karenanya, jihad dalam Islam bertujuan untuk menghilangkan hambatan politik, ekonomi, dan sosial yang menghalangi tersebar dan sampainya ajaran Islam kepada umat manusia di seluruh penjuru dunia. Jika dakwah Islam tidak akan sampai kepada mereka kecuali dengan menghilangkan berbagai pemerintahan yang mengendalikan sistem politik, ekonomi dan sosial yang menghalangi dakwah,tiada pilihan lain umat Islam harus menghunus senjata untuk menghadapi berbagai pemerintahan penghalang dakwah ini. Mereka diperangi, sampai menyerah dan membuka pintu bagi dakwah Islam untuk sampai kepada rakyat dengan bebas dan benar.
Jika sejak awal mereka membuka pintu agar dakwah Islam yang benar dan bebas sampai kepada rakyat, tentulah penggunaan kekerasan senjata tidak diperlukan. Islam datang untuk membangun, bukan merusak.
Persoalannya, berbagai pemerintahan kafir di dunia memperbudak rakyat mereka untuk tunduk beribadah kepada manusia, sebagai ganti dari tunduk beribadah kepada Allah Rabbul ‘Alamien. Mereka memperbudak manusia untuk memberikan ketaatan dan ketundukan penuh kepada sistem dan aturan buatan manusia, sebagai ganti dari ketundukan dan ketaatn kepada syariat Allah. Mereka menyebar luaskan ajaran dan sistem kekufuran, menyebarluaskan distorsi ajaran Islam, dan menutup-nutupi serta menghalangi sampainya ajaran Islam yang benar kepada rakyat.
Islam yang sampai dan dikenal oleh rakyat negara-negara kafir, adalah Islam versi pemerintahan kafir mereka ; Islam versi orientalis dan musuh-musuh Islam yang memendam kebencian abadi kepada Islam. Islam yang sebenarnya ;Islam menurut Al-Qur’an dan As-sunah; sengaja ditutup-tutupi, penyebarannya dihalangi secara sistematis.
Jihad disyariatkan untuk meruntuhkan tembok penghalang sampainya dakwah Islam yang benar kepada rakyat negara-negara kafir tersebut. Bila tembok penghalang telah menyerah, kalah dan runtuh, rakyat mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam. Mereka diberi kebebesan ; memeluk Islam atau tetap pada agama semula, dengan konskuensi membayar jizyah dan mentaati aturan kehidupan Islami. Sebagai balasannya, mereka merasakan jaminan keamanan dan kebebasan beragama.
Inilah fakta sejarah Islam yang telah terealisasikan selama seribu tahun lebih. Masa nubuwah, Khulafa’ Rasyidun, daulah Umawiyah, daulah Abbasiyah, daulah Mamalik, daulah Ayubiyah, daulah Murabithun, daulah Muwahidun dan daulah Utsmaniyah, menjadi bukti tak terbantahkan.
Tak pernah terbukti dalam sejarah, setelah mengalahkan musuh, umat Islam memaksa musuh untuk memeluk Islam. Justru, yang terbukti adalah sebaliknya. Kaum Salibis dan zionis yang mengangkat semboyan “cinta kasih”, membantai kaum jutaan muslimin yang menolak masuk agama Nasrani. Tragedi pembantaian terhadap kaum muslimin di Andalus, Palestina, Bosnia, Ambon-Maluku Utara-Poso dan beberapa penjuru dunia lainnya, membuktikan kaum kafir tidak mengenal kaedah “tidak ada paksaan dalam beragama.” Mereka hanya mengenal kaedah “masuk agama (sistem) kami atau kami bunuh”.
Islam mensyariatkan jihad, bukan untuk memaksa orang kafir agar memeluk Islam. Jihad disyariatkan untuk menghilangkan penghalang sampainya dakwah Islam yang benar kepada mereka. Dengan menangnya Islam dan tegaknya hukum Islam, mereka bebas memilih ; masuk Islam atau tetap pada agama semula dengan syarat tunduk pada hukum negara Islam. Dus, jihad bukan berarti memaksa mereka untuk masuk Islam.
TINJAUAN KEKAFIRAN DEMOKRASI
Demokrasi diambil dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti hukum atau kekuasaan. Jadi demokrasi adalah hukum dan kekuasaan rakyat, dan dibahasakan dalam Undang Undang Dasar RI dengan “Kedaulatan berada di tangan rakyat”.
Demokrasi memiliki beberapa ajaran, di antaranya:
· Sumber hukum bukan Allah Subhaanahu Wa Ta’al...a, akan tetapi rakyat
* Hukum yang dipakai bukanlah hukum Allah, akan tetapi hukum buatan
* Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
* Kebenaran adalah suara terbanyak
* Tuhannya banyak dan beraneka ragam
* Persamaan hak
Ajaran-ajaran demokrasi atau dien (agama) demokrasi ini semuanya kontradiktif dengan dien kaum muslimin, Al Islam. Sebagian manusia merasa aneh saat kami menyebut demokrasi sebagai dien (agama) padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan:
“Tidaklah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja (dien al malik)…” (QS. Yusuf [12]: 76)
Undang-undang telah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala namakan sebagai dien (agama/jalan hidup yang ditempuh), sedangkan demokrasi itu memilliki undang-undang selain Islam. Jadi dien (agama) kafir itu bukan hanya Nashrani, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu, Shinto, dan Majusi saja…, akan tetapi Demokrasi adalah dien, Nasionalisme adalah dien, Kapitalisme adalah dien, Sekulerisme adalah dien.
Islam adalah dien kaum muslimin, sedangkan Demokrasi adalah dien kaum musyrikin, baik kaum musyrikin yang mengaku Islam atau yang mengaku bukan Islam. Untuk benar-benar mengetahui kekufuran dien Demokrasi ini, maka mari kita kupas ajaran-ajarannya itu dengan membandingkannya dengan ajaran Islam.
1. Sumber hukum bukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan tetapi rakyat.
Dikarenakan rakyat adalah yang berdaulat dan yang berkuasa, maka sumber hukumnya pun adalah rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil mereka di Parlemen (MPR/DPR). Dan bila anda membuka Konstitusi (Undang Undang Dasar) semua negara yang bersistem Demokrasi, maka pasti mendapatkan bahwa kekuasaan Legislatif (tasyri’iyyah/pembuatan hukum) ada di tangan majelis rakyat, ada juga yang ‘bebas’ seperti di negara-negara barat, dan ada yang terbatas seperti di negara-negara Arab dan negara timur yang mana Raja, Amir, dan Presiden sangat menentukan, dan tidak lupa juga bahwa demokrasi atau aspirasi rakyat ini tidak semuanya digulirkan, kecuali bila sesuai dengan thaghut Latta mereka yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal sumber/kekuasaan/wewenang hukum itu di dalam dien Al Islam ada di Tangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
“…keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah…” (QS. Yusuf [12]: 40)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“…menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS. Al An’am [6]: 57)
Setelah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa Dia-lah yang menciptakan dan yang memilih apa yang Dia kehendaki serta bahwa manusia tidak punya hak untuk memilih setelah Allah menentukan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan yang berhak diibadati melainkan Dia, bagiNya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagiNya-lah segala penentuan dan hanya kepadaNya-lah kamu dikembalikan” (QS. Al Qashash [28]: 70)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apapun yang lain, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. bagi-Nyalah segala penentuan, dan Hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al Qashash [28]: 87-88)
Ayat-ayat lainnya yang menjelaskan bahwa hak menentukan hukum dan putusan serta penetapan hanyalah milik Allah dan hak khusus rububiyyah serta uluhiyyah-Nya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang memutuskan dan hanya kepada-Nyalah putusan itu (disandarkan)”
Ini adalah dienullah yang dianut oleh kaum muslimin, sedangkan yang tadi adalah dien Demokrasi yang dianut oleh kaum musyrikin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran [3]: 85)
Apakah sama antara dua dien ini wahai manusia…?
Dan apa yang anda pilih, Islam ataukah Demokrasi…?
Bayangkan saja… bila yang menjadi sumber hukum itu adalah manusia yang sangat penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, apa jadinya hukum yang diundang-undangkan itu? Bulan ini dibuat dan diibadati, namun beberapa bulan berikutnya dihapuskan (baca: dimakan) atau direvisi, karena sudah tidak relevan lagi, tidak ada bedanya dengan tuhan (berhala) dari adonan roti yang mereka (kafir Arab dahulu) buat dan mereka ibadati, namun ketika lapar mereka santap habis.
Sedangkan bila yang menjadi sumber hukum itu hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka Dia-lah Dzat Yang Maha Mengetahui segalanya.
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al Mulk [67]: 14)
2. Hukum yang dipakai bukan hukum Allah tapi hukum buatan
Tadi telah dijelaskan bahwa sumber hukum agama Demokrasi adalah rakyat, maka sudah pasti hukum yang dipakai adalah bukan hukum Allah, tapi hukum rakyat (wakilnya) atau hukum yang disetujui oleh mereka, juga dikarenakan dien Demokrasi ini adalah menyatukan semua pemeluk dien yang beraneka ragam dan mengakuinya serta menampung semua aspirasinya, sedangkan untuk kesatuan mereka ini dibutuhkan hukum yang mengikat semua dan disepakati bersama, padahal para pemeluk dien selain Al Islam tidak akan rela dengan hukum Islam sehingga disepakatilah hukum yang menyatukan mereka, dan itu bukan hukum Allah, tapi hukum wali-wali syaitan.
Sungguh ini adalah kerusakan yang besar, kekafiran yang nyata serta kemurtadan yang nampak jelas bagi pemeluk Islam yang ridha dengannya atau mendukungnya apalagi menerapkan atau melindunginya. Padahal Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah [5]: 44)
Sekutu dengan hukum buatan itu syirik akbar, Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Tentang ayat ini Al Hakim dan yang lainnya meriwatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas: Bahwa orang-orang membantah kaum muslimin tentang sembelihan dan pengharaman bangkai, mereka berkata: “Kalian makan apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Allah bunuh” yaitu bangkai, maka Allah berfirman “Dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsir ayat ini: “Dimana kamu berpaling dari perintah Allah dan aturan-Nya kepada yang lainnya, terus kamu mendahulukan terhadap aturan Allah yang lainnya, maka inilah syirik itu”
Memakai hukum selain hukum Allah adalah syirik akbar…
Bila saja orang yang menuruti atau meridhai satu hukum yang menyelisihi aturan Allah, telah Dia Subhanahu Wa Ta’ala vonis musyrik, maka apa gerangan dengan Demokrasi yang seluruhnya adalah bukan hukum Allah. Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum yang ada dalam Demokrasi itu serupa dengan ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah dan tidak merubah kekafiran penganut dien Demokrasi. Andai ada orang Nashrani yang jujur dan amanah, apakah itu bisa menyebabkan dia itu disebut muslim karena jujur dan amanah itu ajaran Islam? Sama sekali tidak, karena jujur dan amanahnya itu bukan atas dorongan tauhid, tapi kepentingan lain, maka begitu juga dengan Demokrasi.
Oleh sebab itu para ulama tetap ijma atas kafirnya orang yang menerapkan kitab Undang-undang hukum Tartar (Yasiq/Ilyasa) yang dibuat oleh Jengis Khan, padahal sebagiannya diambil dari syari’at Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan syari’at paten yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada yang lainnya berupa hukum-hukum (Allah) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Ilyasa dan lebih mengedepankannya atas hukum Allah? Siapa yang melakukannya maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin”. [Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang Yasiq/Ilyasa: “Ia adalah kitab undang-undang hukum yang dia (Raja Tartar, Jengis Khan) kutip dari berbagai sumber ; dari Yahudi, Nashrani, Millah Islamiyyah, dan yang lainnya, serta di dalamnya banyak hukum yang dia ambil dari sekedar pandangannya dan keinginannya, lalu (kitab) itu bagi keturunannya menjadi aturan yang diikuti yang lebih mereka kedepankan dari pada al hukmu bi Kitabillah wa sunnati Rasulillah shalallahu ‘alaihi wasallam. Siapa yang melakukan itu, maka wajib diperangi hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, selainnya tidak boleh dijadikan acuan hukum dalam hal sedikit atau banyak”.
Ini dikarenakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [5]: 49)
Dalam ayat itu, Allah mengatakan “menurut apa yang diturunkan Allah”, dan tidak mengatakan “menurut seperti apa yang diturunkan Allah”. Dalam ajaran Demokrasi hukum yang berlaku adalah hukum jahiliyyah:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki…” (QS. Al Maidah [5]: 50)
Dalam ajaran tauhid, orang tidak dikatakan muslim, kecuali dengan kufur kepada thaghut yang di antaranya berbentuk undang-undang buatan manusia, sedangkan Demokrasi mengajak orang-orang untuk beriman kepada thaghut, padahal Allah berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa [4]: 60)
Lihatlah realita para demokrat serta para pendukungnya justeru adalah sebagaimana yang Allah Subhaanahu Wa Ta’ala firmankan:
“Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafiq menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu”. (QS. An Nisa [4]: 61)
Jika ada yang serupa dengan ajaran Islam dalam hukum mereka itu, tidak lebih dari apa yang tidak bertentangan dengan selera dan kepentingan mereka, dan itu setelah proses tarik menarik dan diskusi panjang antara mengiakan dengan tidak, tak ubahnya dengan orang-orang yang Allah firmankan:
“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka Itulah orang-orang yang zhalim”. (QS. An Nur [24]: 48-50)
Apakah anda masih meragukan bahwa Demokrasi itu dien kufriy…?
Apakah Islam atau Ad Dimoqrathiyyah…?
“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”. (QS. Ali Imran [3]: 83)
3. Memberikan kebebasan berkeyakinan dan mengeluarkan fikiran dan pendapat
Demokrasi adalah dien yang melindungi semua agama, mengakui serta menjamin kebebasannya. Orang Nashrani bila mau masuk Islam maka Demokrasi mempersilahkan dan mengakuinya, dan begitu juga orang Islam jika ingin masuk Nashrani atau agama lainnya, maka dien Demokrasi tidak mempersalahkannya apalagi memberikan sanksi terhadapnya.
Dari itu berarti dien Demokrasi telah menghalalkan pintu-pintu kemurtadan serta menggugurkan hukum-hukum yang berkaitan denganya, padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah”.
Andai seorang muslim karena ghirahnya sangat tinggi lalu dia membunuh orang murtad, maka tentulah dia mendapat hukuman. Begitu juga dien demokrasi memberikan kebebasan untuk mengeluarkan fikiran dan pendapat, walaupun fikiran dan pendapat itu adalah kekufuran.
Jadi Demokrasi membuka pintu kekufuran dari berbagai sisi. Dari sinilah rahasia kenapa sanksi-sanksi yang bersifat keagamaan ditiadakan dan tidak diberlakukan, karena itu bertentangan dengan kebebasan berkeyakinan.
Saat seorang bapak meninggal dunia dan si anak telah murtad, maka hukum demokrasi masih menetapkan warisan baginya.
Saat si suami murtad, sedangkan isteri masih muslimah…, namun dien Demokrasi tidak mengharuskan pisah (fasakh) di antara keduanya.
Allah dan Rasul-Nya dibiarkan dihina siang dan malam, dan ajaran Islam dicemoohkan dan dilecehkan dengan dalih kebebasan mengeluarkan fikiran dan pendapat. Memang Demokrasi itu memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi semua faham dan aliran kecuali Tauhid, karena seandainya ada muwahhid yang mencela dan menghina atau berupaya membunuh thaghut mereka, tentulah dia dikenakan pasal hukuman, padahal itu ajaran Tauhid.
Begitulah kebebasan yang dimaksud oleh dien Demokrasi…
Kebebasan kufur, syirik, ilhad, zandaqah, dan riddah… bukan kebebasan Tauhid…!
4. Kebenaran adalah suara terbanyak
Hal yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah bahwa dien Demokrasi memiliki ajaran bahwa al haq itu bersama suara rakyat atau mayoritasnya. Adapun yang diinginkan oleh mayoritas, maka itu adalah kebenaran yang harus diterima dan diamalkan meskipun jelas-jelas bertentangan dengan Tauhid.
Oleh karena itu setiap partai politik yang ingin menguasai Parlemen dan Pemerintahan pasti dia mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari rakyat, kemudian setelah itu mereka bisa menerapkan putusan apa saja meskipun melanggar aturan Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wasallam, asal tidak melenceng dari Tuhan mereka tertinggi yang padahal mereka sendiri yang membuatnya, yaitu Undang Undang Dasar.
Padahal kebenaran itu hanyalah bersumber dari Allah, baik mayoritas menyukainya atau tidak. Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Ali Imran [3]: 60)
Juga firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, Karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu”. (QS. Al Baqarah [2]: 147)
Dikarenakan kebenaran adalah datang dari Allah Subhaanahu Wa Ta’ala lewat lisan Rasul-Nya, maka bila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu putusan atau hukum, tidak boleh manusia mempertimbangkan antara menerima atau tidak serta tidak ada pilihan lain kecuali menerima dan tunduk kepadanya.
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab [33]: 36)
Dan firman-Nya Subhaanahu Wa Ta’ala:
“…sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka…” (QS. Al Qashash [28]: 68)
Para ahli tafsir menyatakan bahwa bila Allah telah menentukan sesuatu, maka manusia tidak dapat memilih yang lain lagi dan harus mentaati dan menerima apa yang telah ditetapkan Allah.
Namun agama Demokrasi mengatakan lain, rakyat bebas memilih apa yang mereka inginkan dan mereka memiliki pilihan. Tapi bila rakyat (wakil-wakil mereka tentunya) atau mayoritasnya menentukan sesuatu, maka tidak ada pilihan lagi kecuali mengikutinya, karena Tuhan yang berhak menetapkan ketentuan dalam ajaran Demokrasi adalah para wakil rakyat itu, bukannya Allah Subhaanahu Wa Ta’ala.
Bila dien Demokrasi memiliki tolak ukur kebenaran itu berdasarkan pada suara aghlabiyyah (mayoritas), sehingga apapun yang disuarakan oleh mereka, maka itulah kebenaran yang mesti diikuti, padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghati-hatikan dari mengikuti keinginan mayoritas manusia…
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am [6]: 116)
Ini dikarenakan mayoritas (manusia) musyrik…
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah”. (QS. Yusuf [12]: 106)
Mayoritasnya tidak beriman…
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf [12]: 103)
Mayoritasnya benci akan kebenaran…
“…dan kebanyakan mereka benci kepada kebenaran itu”. (QS. Al Mukminun [23]: 70)
Mayoritasnya tidak mengetahui kebenaran…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah [45]: 26)
Mayoritasnya tidak memahami kebenaran…
“…tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya)”. (QS. Al Ankabut [29]: 63)
Mayoritas mereka itu kaum yang tidak beriman…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 59)
Mayoritas mereka itu tidak bersyukur…
“…akan tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur”. (QS. Al Mukmin/Ghafir [40]: 61)
Itulah sifat-sifat orang yang dijadikan Tuhan (arbab) dalam agama Demokrasi ; musyrik, kafir, sesat, bodoh, kurang akal, benci terhadap kebenaran, tidak mau bersyukur lagi menyesatkan.
Orang yang ridha dan beribadah kepada tuhan-tuhan itu, maka ia lebih sesat dan lebih bodoh dari kerbau piaraannya…!
“…mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi…” (QS. Al A’raf [7]: 179)
Enyahlah kalian dan apa yang kalian ibadati selain Allah. Maka apakah kamu tidak berakal…??!
5. Tuhannya banyak dan beraneka ragam
Sudah dijelaskan di awal pembahasan ini bahwa hukum adalah hak khusus Allah Subhaanahu Wa Ta’ala dan ia adalah ibadah, bila ia disandarkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka itu adalah syirik, dan yang menerima penyandarannya itu adalah Tuhan (arbab) selain Allah.
Sudah diketahui bahwa rakyat (wakil-wakilnya) adalah pemegang kewenangan hukum, itu dalam dien Demokrasi, sedangkan wakil-wakil rakyat itu jumlahnya sangat banyak, berarti tuhan-tuhan mereka itu beraneka ragam. Ada tuhan yang katanya mengaku Islam, ada yang Nashrani, ada yang dari Budha, Hindu, Dukun, Paranormal, Tentara, Polisi, dan lain sebagainya.
Sedangkan Tauhid mengajarkan bahwa sumber yang berwenang menentukan hukum hanyalah Allah Subhaanahu Wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui…
“…manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf [12]: 39)
Di dalam Al Qur’an, para pembuat hukum itu diberi beberapa nama oleh Allah: Arbaab, thaghut, syuraka, auliaa-usy syaithan (wali-wali syaitan).
Dia Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Arbaab (Tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah [9]: 31)
Dalam ayat ini Allah menamakan orang-orang alim dan para rahib Yahudi dan Nashrani sebagai ARBAAB, saat ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam di hadapan ‘Adiy Ibnu Hatim ~saat itu asalnya Nashrani kemudian masuk Islam~, maka dia langsung mengatakan: “Kami tidak pernah sujud dan shalat kepada mereka…”, maka Rasulullah menjelaskan makna “mereka menjadikan para rahib dan alim itu sebagai Arbab”: “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”,maka ‘Adiy menjawab: “Ya, benar”. Dan Rasulullah berkata: “Itulah bentuk ibadah kepada mereka”. [Atsar ini dihasankan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah]
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata: ”Bab: Orang yang mentaati ulama dan penguasa dalam mengharamkan apa yang Allah haramkan atau (dalam) menghalalkan apa yang Allah haramkan”, maka ia telah menjadikan mereka sebagai Arbaab selain Allah”.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut…” (QS. An Nisa [4]: 60)”
Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata tentang beberapa tokoh thaghut: “Penguasa yang zhalim yang merubah ketentuan-ketentuan Allah”, terus beliau tuturkan ayat di atas.
Mujahid rahimahullah berkata: “Thaghut adalah syaitan berwujud manusia yang mana orang-orang berhakim kepadanya sedang dia adalah pemegang kendali mereka”
Dalam catatan kaki Terjemahan Mushhaf Departemen “Agama” RI: “Termasuk thaghut juga adalah; orang yang menerapkan hukum secara curang menurut hawa nafsu”. Ketahuilah… sesungguhnya selain aturan Allah adalah curang lagi bersumber dari hawa nafsu…!!!
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai syurakaa (sembahan-sembahan) selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien (aturan) yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syuura [42]: 21)
Anda harus ingat dalam memahami ayat ini dan yang lainnya bahwa hukum/aturan adalah dien.
Kemudian tentang penamaan para pembuat hukum selain Allah sebagai wali-wali syaitan, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang upaya kaum musyrikin mendebat kaum muslimin supaya setuju dengan aturan yang menyelisihi aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Dia berfirman:
“…Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka agar membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah benar-benar musyrik”. (QS. Al An’am [6]: 121)
Bisikan syaitan kepada mereka adalah ucapan yang mereka lontarkan kepada kaum muslimin “Kalian makan apa yang kalian bunuh (maksudnya sembelihan) dan tidak makan apa yang dibunuh Allah (maksudnya bangkai)”.
Jadi para pembuat hukum dan undang-undang itu adalah wali-wali syaitan, dan sedangkan undang-undang dan hukumnya itu adalah syari’at syaitan.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang) yang disyari’atkan oleh syaitan lewat lisan wali-walinya…”
Jadi, Demokrasi adalah ajaran syaitan, sedangkan para penganutnya adalah para penyembah syaitan…
6. Persamaan Hak
Di dalam ajaran Demokrasi, semua rakyat dengan berbagai macam agama dan keyakinannya adalah sama, tidak ada perbedaan antara muslim dengan kafir, juga antara orang yang taat dengan yang fasiq. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala membedakan di antara mereka:
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu…” (QS. Al Maidah [5]: 100)
Orang kafir adalah yang buruk sedangkan orang muslim adalah yang baik…
“Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah…” (QS. Al Hasyr [59]: 20)
“Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?” (QS. As Sajdah [32]: 18)
Dan ayat-ayat lainnya…
Dengan risalah ini kami bermaksud untuk menggugah anda agar mengetahui bahwa Demokrasi itu adalah agama kafir lagi syirik, sedang para pengusungnya serta para penganutnya adalah kaum musyrikin walau mereka menyatakan bahwa dirinya muslim, shalat, zakat, shaum, haji dan yang lainnya.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad, keluarga, dan para shahabat.
Wal hamdu lillaahi rabbil ‘aalamin….
SIAPA ITU THOGHUT
Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh hamba, baik itu yang diikuti atau ditaati atau diibadati. Thaghut itu banyak, apalagi pada masa sekarang. Adapun pentolan-pentolan thaghut itu ada 5, diantaranya:
1. Syaithan
Syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Adapun tentang makna ibadah tersebut dan macam-macamnya telah anda pa...hami dalam uraian sebelumnya. Syaitan ada dua macam: Syaitan Jin dan Syaitan Manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan begitulah Kami jadikan bagi tiap nabi musuhnya berupa syaitan-syaitan manusia dan jin” (Al An’am: 112)
Dan firmanNya Ta’ala:
“Yang membisikkan dalam dada-dada manusia, berupa jin dan manusia” (An Naas: 5-6)
Orang mengajak untuk mempertahankan tradisi tumbal dan sesajen, dia adalah syaitan manusia yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Tokoh yang mengajak minta-minta kepada orang yang sudah mati adalah syaitan manusia dan dia adalah salah satu pentolan thaghut. Orang yang mengajak pada system demokrasi adalah syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah, dia berarti termasuk thaghut. Orang yang mengajak menegakkan hukum perundang-undangan buatan manusia, maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah.
Orang yang mengajak kepada paham-paham syirik (seperti: sosialis, kapitalis, liberalis, dan falsafah syirik lainnya), maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Bukankan Aku memerintahkan kalian wahai anak-anak Adam: “Janganlah ibadati syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Yaasin: 60)
2. Penguasa Yang Zhalim
Penguasa zhalim yang merubah aturan-aturan (hukum) Allah, thaghut semacam ini adalah banyak sekali dan sudah bersifat lembaga resmi pemerintahan negara-negara pada umumnya di zaman sekarang ini. Contohnya tidaklah jauh seperti parlemen, lembaga inilah yang memegang kedaulatan dan wewenang pembuatan hukum/undang-undang. Lembaga ini akan membuat hukum atau tidak, dan baik hukum yang digulirkan itu seperti hukum Islam atau menyelisihinya maka tetap saja lembaga berikut anggota-anggotanya ini adalah thaghut, meskipun sebahagiannya mengaku memperjuangkan syari’at Islam. Begitu juga Presiden/Raja/Emir atau para bawahannya yang suka membuat SK atau TAP yang menyelisihi aturan Allah, mereka itu adalah thaghut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Di kala seseorang menghalalkan yang haram yang telah diijmakan atau merubah aturan yang sudah diijmakan, maka dia kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya para anggota parlemen itu adalah thaghut, tidak peduli darimana saja asal kelompok atau partainya, presiden dan para pembantunya, seperti menteri-menteri di negara yang bersistem syirik adalah thaghut, sedangkan para aparat keamanannya adalah sadanah (juru kunci) thaghut apapun status kepercayaan yang mereka klaim. Orang-orang yang berjanji setia pada system syirik dan hukum thaghut adalah budak-budak (penyembah/hamba) thaghut. Orang yang mengadukan perkaranya kepada pengadilan thaghut disebut orang yang berhukum kepada thaghut, sebagaimana firmanNya Ta’ala:
“Apakah engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang dturunkan sebelum kamu, sedangkan mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” (An Nisa: 60)
3. Orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.
Kepala suku dan kepala adat yang memutuskan perkara dengan hukum adat adalah kafir dan termasuk thaghut. Jaksa dan Hakim yang memvonis bukan dengan hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum/undang-undang buatan manusia, maka sesungguhnya dia itu Thaghut. Aparat dan pejabat yang memutuskan perkara berdasarkan Undang Undang Dasar thaghut adalah thagut juga. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang kafir itu” (Al Maidah: 44)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah: 13/119) Sedangkan Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Jengis Khan yang berisi campuran hukum dari Taurat, Injil, Al Qur’an.
Orang yang lebih mendahulukan hukum buatan manusia dan adat daripada aturan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu kafir.
Dalam ajaran Tauhid, seseorang lebih baik hilang jiwa dan hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada hukum thaghut, Allah Ta’ala berfirman:
“Fitnah (syirik & kekafiran) itu lebih dahsyat dari pembunuhan” (Al Baqarah: 191)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata: “Seandainya penduduk desa dan penduduk kota perang saudara hingga semua jiwa musnah, tentu itu lebih ringan daripada mereka mengangkat thaghut di bumi ini yang memutuskan (persengketaan mereka itu) dengan selain Syari’at Allah” (Ad Durar As Saniyyah: 10 Bahasan Thaghut)
Bila kita mengaitkan ini dengan realita kehidupan, ternyata umumnya manusia menjadi hamba thaghut dan berlomba-lomba meraih perbudakan ini. Mereka rela mengeluarkan biaya berapa saja (berkolusi; menyogok/risywah) untuk menjadi Abdi Negara dalam sistem thaghut, mereka mukmin kepada thaghut dan kafir terhadap Allah. Sungguh buruklah status mereka ini….. !!
4. Orang yang Mengaku Mengetahui Hal Yang Ghaib Selain Allah.
Semua yang ghaib hanya ada di Tangan Allah, Dia Ta’ala berfirman:
“Dialah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib, Dia tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (Al Jin: 26)
Bila ada orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib, maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal, tukang tenung, dsb. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir, dan apa gerangan dengan status si dukun tersebut ??!
5. Orang Yang Diibadati Selain Allah Dan Dia Ridha Dengan Peribadatan itu.
Orang yang senang bila dikultuskan, sungguh dia adalah thaghut. Orang yang membuat aturan yang menyelisihi aturan Allah dan RasulNya adalah thaghut. Orang yang mengatakan “Saya adalah anggota badan legislatif” sama dengan ucapan: “Saya adalah Tuhan” karena orang-orang di badan legislatif itu sudah merampas hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu membuat hukum (undang-undang). Mereka senang bila hukum yang mereka gulirkan itu ditaati lagi dilaksanakan, maka mereka adalah thaghut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barang siapa yang mengatakan di antara mereka ; “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain Allah” maka Kami membalas dia dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zalim” (Al Anbiya: 29)
Itulah tokoh-tokoh thaghut di dunia ini.
Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur kepada thaghut, kufur kepada thaghut adalah separuh laa ilaaha ilallaah. Thaghut yang paling berbahaya pada masa sekarang adalah thaghut hukum, yaitu para penguasa yang MEMBABAT aturan Allah, mereka menindas umat ini dengan besi dan api, mereka paksakan kehendaknya, mereka membunuh, menculik, dan memenjarakan kaum muwahhidin yang menolak tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi banyak orang yang mengaku Islam berlomba-lomba untuk menjadi budak dan hamba mereka. Mereka juga memiliki ulama-ulama jahat yang siap mengabdikan lisan dan pena demi kepentingan ‘tuhan’ mereka.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala cepat membersihkan negeri kaum muslimin dari para thaghut dan kaki tangannya, Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin. (Tulisan ini merupakan syarah/penjelasan singkat dari Risalah fie Ma’na Thaghut karya Al-Imam Al-Mujaddid Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah , ed.)
1. Syaithan
Syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Adapun tentang makna ibadah tersebut dan macam-macamnya telah anda pa...hami dalam uraian sebelumnya. Syaitan ada dua macam: Syaitan Jin dan Syaitan Manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan begitulah Kami jadikan bagi tiap nabi musuhnya berupa syaitan-syaitan manusia dan jin” (Al An’am: 112)
Dan firmanNya Ta’ala:
“Yang membisikkan dalam dada-dada manusia, berupa jin dan manusia” (An Naas: 5-6)
Orang mengajak untuk mempertahankan tradisi tumbal dan sesajen, dia adalah syaitan manusia yang mengajak ibadah kepada selain Allah. Tokoh yang mengajak minta-minta kepada orang yang sudah mati adalah syaitan manusia dan dia adalah salah satu pentolan thaghut. Orang yang mengajak pada system demokrasi adalah syaitan yang mengajak ibadah kepada selain Allah, dia berarti termasuk thaghut. Orang yang mengajak menegakkan hukum perundang-undangan buatan manusia, maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah.
Orang yang mengajak kepada paham-paham syirik (seperti: sosialis, kapitalis, liberalis, dan falsafah syirik lainnya), maka dia adalah syaitan yang mengajak beribadah kepada selain Allah, sedangkan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Bukankan Aku memerintahkan kalian wahai anak-anak Adam: “Janganlah ibadati syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagi kalian” (Yaasin: 60)
2. Penguasa Yang Zhalim
Penguasa zhalim yang merubah aturan-aturan (hukum) Allah, thaghut semacam ini adalah banyak sekali dan sudah bersifat lembaga resmi pemerintahan negara-negara pada umumnya di zaman sekarang ini. Contohnya tidaklah jauh seperti parlemen, lembaga inilah yang memegang kedaulatan dan wewenang pembuatan hukum/undang-undang. Lembaga ini akan membuat hukum atau tidak, dan baik hukum yang digulirkan itu seperti hukum Islam atau menyelisihinya maka tetap saja lembaga berikut anggota-anggotanya ini adalah thaghut, meskipun sebahagiannya mengaku memperjuangkan syari’at Islam. Begitu juga Presiden/Raja/Emir atau para bawahannya yang suka membuat SK atau TAP yang menyelisihi aturan Allah, mereka itu adalah thaghut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Di kala seseorang menghalalkan yang haram yang telah diijmakan atau merubah aturan yang sudah diijmakan, maka dia kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha” (Majmu Al Fatawa)
Ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya para anggota parlemen itu adalah thaghut, tidak peduli darimana saja asal kelompok atau partainya, presiden dan para pembantunya, seperti menteri-menteri di negara yang bersistem syirik adalah thaghut, sedangkan para aparat keamanannya adalah sadanah (juru kunci) thaghut apapun status kepercayaan yang mereka klaim. Orang-orang yang berjanji setia pada system syirik dan hukum thaghut adalah budak-budak (penyembah/hamba) thaghut. Orang yang mengadukan perkaranya kepada pengadilan thaghut disebut orang yang berhukum kepada thaghut, sebagaimana firmanNya Ta’ala:
“Apakah engkau tidak melihat kepada orang-orang yang mengaku beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan apa yang dturunkan sebelum kamu, sedangkan mereka hendak berhukum kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” (An Nisa: 60)
3. Orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Allah turunkan.
Kepala suku dan kepala adat yang memutuskan perkara dengan hukum adat adalah kafir dan termasuk thaghut. Jaksa dan Hakim yang memvonis bukan dengan hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum/undang-undang buatan manusia, maka sesungguhnya dia itu Thaghut. Aparat dan pejabat yang memutuskan perkara berdasarkan Undang Undang Dasar thaghut adalah thagut juga. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan siapa saja yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka merekalah orang-orang kafir itu” (Al Maidah: 44)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah: 13/119) Sedangkan Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Jengis Khan yang berisi campuran hukum dari Taurat, Injil, Al Qur’an.
Orang yang lebih mendahulukan hukum buatan manusia dan adat daripada aturan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu kafir.
Dalam ajaran Tauhid, seseorang lebih baik hilang jiwa dan hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada hukum thaghut, Allah Ta’ala berfirman:
“Fitnah (syirik & kekafiran) itu lebih dahsyat dari pembunuhan” (Al Baqarah: 191)
Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata: “Seandainya penduduk desa dan penduduk kota perang saudara hingga semua jiwa musnah, tentu itu lebih ringan daripada mereka mengangkat thaghut di bumi ini yang memutuskan (persengketaan mereka itu) dengan selain Syari’at Allah” (Ad Durar As Saniyyah: 10 Bahasan Thaghut)
Bila kita mengaitkan ini dengan realita kehidupan, ternyata umumnya manusia menjadi hamba thaghut dan berlomba-lomba meraih perbudakan ini. Mereka rela mengeluarkan biaya berapa saja (berkolusi; menyogok/risywah) untuk menjadi Abdi Negara dalam sistem thaghut, mereka mukmin kepada thaghut dan kafir terhadap Allah. Sungguh buruklah status mereka ini….. !!
4. Orang yang Mengaku Mengetahui Hal Yang Ghaib Selain Allah.
Semua yang ghaib hanya ada di Tangan Allah, Dia Ta’ala berfirman:
“Dialah Dzat yang mengetahui hal yang ghaib, Dia tidak menampakan yang ghaib itu kepada seorangpun” (Al Jin: 26)
Bila ada orang yang mengaku mengetahui hal yang ghaib, maka dia adalah thaghut, seperti dukun, paranormal, tukang ramal, tukang tenung, dsb. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa orang yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia mempercayainya, maka dia telah kafir, dan apa gerangan dengan status si dukun tersebut ??!
5. Orang Yang Diibadati Selain Allah Dan Dia Ridha Dengan Peribadatan itu.
Orang yang senang bila dikultuskan, sungguh dia adalah thaghut. Orang yang membuat aturan yang menyelisihi aturan Allah dan RasulNya adalah thaghut. Orang yang mengatakan “Saya adalah anggota badan legislatif” sama dengan ucapan: “Saya adalah Tuhan” karena orang-orang di badan legislatif itu sudah merampas hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yaitu membuat hukum (undang-undang). Mereka senang bila hukum yang mereka gulirkan itu ditaati lagi dilaksanakan, maka mereka adalah thaghut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barang siapa yang mengatakan di antara mereka ; “Sesungguhnya Aku adalah Tuhan selain Allah” maka Kami membalas dia dengan Jahannam, begitulah Kami membalas orang-orang yang zalim” (Al Anbiya: 29)
Itulah tokoh-tokoh thaghut di dunia ini.
Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur kepada thaghut, kufur kepada thaghut adalah separuh laa ilaaha ilallaah. Thaghut yang paling berbahaya pada masa sekarang adalah thaghut hukum, yaitu para penguasa yang MEMBABAT aturan Allah, mereka menindas umat ini dengan besi dan api, mereka paksakan kehendaknya, mereka membunuh, menculik, dan memenjarakan kaum muwahhidin yang menolak tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi banyak orang yang mengaku Islam berlomba-lomba untuk menjadi budak dan hamba mereka. Mereka juga memiliki ulama-ulama jahat yang siap mengabdikan lisan dan pena demi kepentingan ‘tuhan’ mereka.
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala cepat membersihkan negeri kaum muslimin dari para thaghut dan kaki tangannya, Aamiin ya Rabbal ‘aalamiin. (Tulisan ini merupakan syarah/penjelasan singkat dari Risalah fie Ma’na Thaghut karya Al-Imam Al-Mujaddid Syaikh Muhammad ibnu ‘Abdil Wahhab rahimahullah , ed.)
Langganan:
Postingan (Atom)